Selasa, 11 Desember 2018

Masalah buruh diInfonesia


MASALAH BURUH DI INDONESIA

Problem Ketenagakerjaan di Indonesia sampai saat ini masih terkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya SDA tenaga kerja, upah murah dan jaminan sosial yang seadanya. Dan juga perlakuan yang merugikan bagi para pekerja seperti penganiayaan, tindak asusila, penghinaan, intimidasi sampai pelecehan seksual. Akhirnya banyak warga negara Indonesia yang menjadi tenaga kerja di luar negeri dan ini pun menyisakan masalah dengan kurangnya perlindungan dan pengawasan dari negara terhadap para tenaga kerja Indonesia tersebut.
Indonesia sebagai negara bercita-cita ingin mensejahterakan rakyatnya seperti yang terkandung dan menjadi amanat dalam Pancasila dan UUD 1945 walaupun dalam prakteknya belum bisa mewujudkan amanat ini terutama terkait dengan permasalahan yng dialami oleh kaum pekerja/buruh. Akar permasalahan yang terjadi pada pekerja/buruh masih terletak pada persoalan-persoalan hubungan dan kesepakatan antara pengusaha dan pemerintah yang akhirnya berimbas kepada pekerja/buruh dan masyarakat sebagai konsumen.  Kasus gratifikasi dan korupsi yang melibatkan pengusaha dan pemerintah akhirnya mengakibatkan kelalaian dalam pengawasan dan penetapan keputusan yang pada akhirnya merugikan kaum pekerja/buruh.
https://spn.or.id/masalah-buruh-di-indonesia/





·       PERANAN DAN KEDUDUKAN BURUH DI INDONESIA

Peranan dari serikat buruh/pekerja adalah : 
  1. Serikat pekerja mempunyai fungsi Kanalisasi, yaitu fungsi menyalurkan aspirasi, saran, pandangan, keluhan bahkan tuntutan masing – masing pekerja kepada pengusaha dan sebaliknya, serikat pekerja berfungsi sebagai saluran informasi yang lebih efektif dari pengusaha kepada para pekerja;
  2. Dengan memanfaatkan jalur dan mekanisme serikat pekerja, pengusaha dapat menghemat waktu yang cukup besar menangani masalah – masalah ketenagakerjaan, dalam mengakomodasikan saran – saran mereka serta untuk membina para pekerja maupun dalam memberikan perintah – perintah, daripada melakukannya secara individu terhadap setiap pekerja;
  3. Penyampaian saran dari pekerja kepada pimpinan perusahaan dan perintah dari pimpinan kepada para pekerja, akan lebih efektif melalui serikat pekerja, karena serikat pekerja sendiri dapat menseleksi jenis tuntutan yang realistis dan logis serta menyampaikan tuntutan tersebut dalam bahasa yang dapat dimengerti dan diterima oleh direksi dan perusahaan;
  4. Dalam manajemen modern yang menekankan pendekatan hubungan antar manusia ( Human Approach ), diakui bahwa hubungan nonformal dan semiformal lebih efektif atau sangat diperlukan untuk mendukung daripada hubungan formal. Dalam hal ini serikat pekerja dapat dimanfaatkan oleh pengusaha sebagai jalur hubungan semi formal;
  5. Serikat pekerja yang berfungsi dengan baik, akan menghindari masuknya anasir – anasir luar yang dapat mengganggu kelancaran proses produksi dan ketenagakerjaan, jika di suatu perusahaan tidak ada PUK SPSI atau bila PUK SPSI tidak berfungsi dengan baik, maka anasir luar dengan dalih memperjuangkan kepentingan pekerja akan mudah masuk mencampuri masalah intern perusahaan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa campur tangan LSM, LBH dan pihak luar lainnya ke perusahaan lebih banyak menambah rumitnya persoalan daripada mempercepat penyelesaian masalah;
  6. Mewakili pekerja pada Lembaga Tripartit dan Dewan Pengupahan pada Lembaga Departemen Tenaga Kerja sesuai tingkatan; 


·         KEDUDUKAN BURUH

di Pabrik
 Dari satu segi, pabrik dapat dipandang sebagai unit sosial. Karena itu, sebagaimana keluarga atau masyarakat, ia memiliki struktur sosialPara anggotanya dapat dibedakan secara vertikal (stratifikasi) dan secara horizontal (diferensiasi).



1.      Stratifikasi
Secara vertikal pada dasarnya pabrik terdiri dari tiga kelompok:
·         Industrialis atau pengusaha pada puncak stratifikasi Pengusaha dapat dibagi dalam subkelompok pemilik sekaligus pengusaha (manajemen) dan pemilik tanpa jabatan struktural dalam perusahaan
·         Manajemen, pengendali utama kegiatan pabrik sehari-hari yang kekuasaannya bersumber pada profesional atau profesional dan kepemilikan. Manajemen dapat dibagi dalam subkelompok manajemen puncak (top management), manajemen menengah (middle management), staf pendukung (supporting staff).
·         buruh, tidak memiliki modal, alat produksi, keterampilan otak yang memadai. Buruh dapat dikelompokkan dalam subkelompok manajemen tingkat pertama, kepala regu, buruh massal.
·         Manajer lebih suka mengangkat mandor dari luar dengan pertimbangan memiliki pemahaman yang lebih baik dalam mengoperasikan dan atau mengawasi mesin dan pekerjaan pada umumnya, lebih mudah berkomunikasi dengan pihak manajer, dan lebih loyal kepada manajer.


2.      Diferensiasi
Secara horizontal sebenarnya setiap buruh massal berada dalam kedudukan yang sama, hal yang membedakan adalah spesifikasi bidang tugas dan atau divisi asal buruh yang ada di pabrik. Ada beberapa pengecualian kecil, yaitu dalam beberapa kasus terjadi hubungan buruh yang bersifat silang. Selain pemimpin formal dalam pabrik, kadang-kadang ada pemimpin informal dan kadang-kadang ada juga peraturan nonformal yang disepakati bersama. Pelanggaran terhadap kesepakatan non-formal akan mendapat sanksi sosial dari para buruh.
Dalam Masyarakat
            Dalam beberapa hal ada kesejajaran antara struktur sosial di pabrik dengan struktur sosial di masyarakat. Stratifikasi sosial ada enam lapisan atas-atas, atas-bawah, menengah-atas, menengah-bawah, bawah-atas, dan bawah-bawah. Stratifikasi ini dapat disederhanakan menjadi tiga tetapi dapat menghilangkan informasi yang relevan. Lapisan paling atas adalah menteri. Lapisan atas-bawah adalah Gubernur, perwira tinggi, guru besar, dan pengusaha besar. lapisan menengah-atas terdiri dari diplomat, Kepala Dati II, dokter, dosen, perwira menengah hingga pengusaha skala menengah. Lapisan menengah-bawah terdiri dari akuntan, asisten manajer, pastur, guru, pramugari, pengusaha kecil hingga petani sedang dan pegawai TU.
            Lapisan bawah-atas terdiri dari masinis, nelayan, montir, sopir, satpam Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! Anda telah mempelajari kedudukan buruh dalam masyarakat. Untuk memantapkan pemahaman Anda tentang topik tersebut, coba Anda buat perbandingan stratifikasi buruh di pabrik dan masyarakat. hingga tukang bangunan. Lapisan bawah-bawah terdiri dari kondektur, pesuruh, pembantu, tukang becak, pengemis dan gelandangan.
            Pabrik hanya mempunyai 4 lapisan, yaitu atas-bawah, menengahatas, menengah-bawah, bawah-atas.

·        HAK BURUH


Berlakunya dasar-dasar daripada hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama sudah diratifikasi oleh Indonesia menjadi bagian dari Peraturan PerUndang-Undangan Nasional yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja dimana Pekerja merupakan mitra kerja Pengusaha yang sangat penting dalam proses produksi dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya serta menjamin kelangsungan perusahaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Hak untuk menjadi anggota dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh merupakan hak asasi dari pekerja/buruh yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 28. Hak dari Serikat Buruh/Pekerja yang telah mempunyai Nomor Bukti Pencatatan yang syah antara lain :
  1. Membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
  2. Mewakili pekerja dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
  3. Mewakili pekerja dalam lembaga ketenagakerjaan;
  4. Membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja; dan
  5. Melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

·         KEWAJIBAN BURUH

Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, serikat pekerja merupakan organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Sesuai dengan Pasal 102 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja dan serikat pekerja mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

Sedangkan kewajiban dari Serikat Pekerja yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan ialah :
  1. Melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya;
  2. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya; dan
  3. Mempertanggung-jawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya.
Pekerja juga mempunyai kewajiban yang berkaitan dengan keuangan dan harta kekayaannya. Keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja haruslah terpisah dari keuangan dan harta kekayaan pribadi pengurus dan anggotanya. Keuangan serikat pekerja bersumber dari :
  1. Iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga;
  2. Hasil usaha yang sah; dan
  3. Bantuan anggota atau pihak lain yang tidak mengikat.
Apabila pengurus serikat pekerja menerima bantuan dari pihak luar negeri, maka mereka wajib untuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung-jawab di bidang ketenagakerjaan. Bila serikat pekerja tidak memberitahukan kepada instansi pemerintah yang berwenang tersebut, maka dapat dikenakan sanksi administrasi pencabutan nomor bukti pencatatan serikat pekerja dan hal ini berarti bahwa serikat pekerja tersebut kehilangan haknya sebagai serikat pekerja (Pasal 24 UU No.21 Tahun 2000).

·        DINAMIKA BURUH DI INDONESIA
Masalah yang muncul akibat dari kelalaian pengawasan dan penetapan keputusan yang tidak adil ini berupa :
1. Masalah Upah.
Salah satu masalah yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya pendapatan upah yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat sementara upah yang diterima relative tetap, menjadi salah satu pendorong gerakan protes kaum pekerja/buruh.
Sistem perburuhan di Indonesia mengacu pada sistem Hubungan Industrial Pancasila, dalam sistem ini kedudukan pengusaha dan pekerja/buruh adalah setara, memiliki tanggung jawab yang sama, saling menghoramti dan saling memahami. Semua kepentingan harus dibicarakan secara musyawarah. Pemerintah berkepentingan terhadap masalah upah, karena upah merupakan sarana pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus terkait dengan kemajuan perusahaan yang nantinya berpengaruh pada perkembangan perekonomian nasional dana atau daerah. Untuk mengatasi permasalahan upah pemerintah biasanya menetapkan batas minimal upah/Upah Minimum Regional yang harus dibayarkan perusahaan kepada pekerjanya, walaupun penetapan UMK ini sebenernya bermasalah kerena seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh ddalam mewujudkan hasil usaha dari peruasahaan yang bersangkutan.


Studi kasus
Bagaimana sebenarnya upah di Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara lain? Berikut perbandingan yang dihimpun dari berbagai sumber.
Thailand (Rp3,90-4,17 juta)
Pemerintah Thailand baru saja memberlakukan kebijakan upah baru mulai April 2018 setelah terakhir kali direvisi 5 tahun lalu. Revisi tersebut membuat standar upah minimum di Negeri Gajah itu berada pada rentang 9.240-9.900 baht
Standar upah tertinggi ada di dua kota industri yakni Chonburi dan Rayong, yaitu 9.900 baht atau 309 dolar AS. (1 dolar AS : 31,96 baht). Untuk kota Bangkok dan sekitarnya, standar upahnya sedikit lebih rendah yaitu 9.750 baht atau 305 dolar AS. Adapun minimum terendah yang berlaku di 77 provinsi di Thailand dipatok 9.240 baht atau 289 dolar AS. Kebijakan yang baru saja berlaku ini menjadikan Thailand sebagai negara tertinggi di ASEAN dalam menetapkan standar upah.
Standar upah: (289-309 dolar AS)
Malaysia (Rp3,17-3,45 juta)
Standar upah minimum di Malaysia tidak pernah direvisi sejak 2013. Di Malaysia bagian Barat, upah minimum dipatok 1.000 ringgit atau setara 256 dolar AS (1 dolar AS: 3,9 ringgit) sementara standar upah di Malaysia bagian Timur yang mencakup Sabah, Serawak, dan Labuan ditetapkan 920 ringgit atau 235 dolar AS.
Wacana revisi terhadap standar upah mengemuka di tahun politik. Sejumlah partai politik berhaluan kiri berjanji menaikkan standar upah minimal menjadi 1.500 ringgit jika menang pemilu. Jika benar terwujud, buruh Malaysia akan memperoleh upah sedikitnya Rp5,2 juta. Yang pasti, pemerintah tengah mengkaji standar upah baru dan dipastikan akan berlaku tahun depan.
Standar upah: (235-256 dolar AS)
Indonesia (Rp1,45-3,91 juta)
Berbeda dengan sejumlah negara ASEAN yang merevisi standar upah minimal lima tahun sekali, Indonesia mengubahnya setiap tahun sekali berdasarkan indikator pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Standar upah minimum buruh di Indonesia memiliki variasi ekstrem berdasarkan lokasi. DKI Jakarta menjadi provinsi tertinggi untuk upah minimum yaitu Rp3,65 juta atau sekitar 270 dolar AS sebulan (1 dolar AS: Rp13.500). Sementara Yogyakarta menjadi provinsi dengan upah minimum terendah yaitu Rp1,45 juta atau hanya 107 dolar AS.
Namun, penentuan upah minimum di tingkat kabupaten/kota bisa berbeda. Kota Bekasi dan kabupaten Karawang misalnya memiliki standar upah Rp3,91 juta atau 289 dolar AS, lebih tinggi dari standar upah provinsi Jawa Barat Rp1,5 juta.
Standar upah: (107-289 dolar AS)
Vietnam (Rp2-2,3 juta)
Mulai tahun ini 2018, Vietnam menetapkan standar upah minimum baru. Ada dua jenis standar upah di negara hub industri tersebut. Pertama, upah untuk pegawai negeri dipatok 1,39 juta dong atau 61 dolar AS (1 dolar AS: 22.800 dong). Standar ini berlaku mulai Juli 2018. Sebelum berlaku, pegawai akan mendapatkan 1,39 juta dong atau 57 dolar AS.
Untuk pegawai swasta, standar upah minimum berbeda tergantung lokasi yang ditentukan. Wilayah I memiliki standar tertinggi hingga 3,98 juta dong atau 174 dolar AS. Wilayah ini mencakup sejumlah kota besar, termasuk Hanoi dan Ho Chi Minh. Sementara Wilayah IV memiliki standar upah terendah 2,76 juta dong atau 154 dolar AS.
Standar upah: (154-174 dolar AS).
Filipina (Rp2,44-3,17 juta)
Standar upah minimum di Filipina berbeda tiap wilayah antara 9.240 peso atau 181 dolar AS hingga 12.000 peso atau 235 dolar AS. (1 dolar AS: 51 baht). Wilayah IV-A yang mencakup kota-kota pusat industri memiliki standar upah tertinggi yaitu 12.000 peso. Wilayah VII menjadi yang terendah meski standarnya bervariasi antara 9.240-10.980 peso.

2. Masalah Pemenuhan Kebutuhan dan Kesejahteraan Hidup.
Aristoteles (filsuf Yunani) mendefinisikan kebutuhan mendasar manusia adalah semua kebutuhan dasar yang menyangkut dimensi manusia meliputi kebutuhan material, kesehatan, kebutuhan sosial (diterima masyarakat) hingga kebutuhan untuk meng-aktualisasi sebagai manusia. Implikasinya adalah setiap manusia berhak untuk secara leluasa mengambil inisiatif untuk memenuhi kebutuhannya. Hak pemenuhan kebutuhan hidup didasarkan pada fakta bahwa manusia adalah mahluk biologis yang memiliki kebutuhan dasar biologis meliputi kecakupan makanan, perlindungan, pakaian, perawatan medis dan pendidikan. Ketika para pekerja/buruh hanya memlliki sumber pendapatan berupa upah, maka pencapaian kesejahteraan bergantung pada kemampuan upah dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dalam kenyataanya, jumlah upah relatif tetap, sementara kebutuhan hidup selalu bertambah seperti biaya pendidikan, perumahan, sakit dll. Hal ini menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat termasuk pekerja/buruh semakin rendah. Seharusnya pemerintah tidak lepas tangan dari usaha pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya apalagi menyangkut kebutuhan pokok.
Studi kasus
Bicara kesejahteraan, kehidupan buruh cenderung marjinal. Berbicara hak-hak pekerja, berarti kita membicarakan kewajiban dan hak-hak yang melekat pada diri buruh. Hampir di semua negara saat ini, problem ketenagakerjaan atau perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Hal demikian terlihat dari adanya departemen yang mengurusi ketenagakerjaan pada setiap kabinet yang dibentuk. Hanya saja realitas tiap negara memberikan beragam solusi, namun sering memunculkan berbagai problem baru.
Komentar Eric Stark Maskin, Born, AS –peraih Nobel Ekonomi 2007– patut kita perhatikan. Ada banyak ekonom dunia yang percaya bahwa kerja kontrak alih daya dan politik upah murah adalah prasyarat keunggulan dan pertumbuhan ekonomi sebuah negara di era globalisasi. Padahal, hasil observasi Maskin –juga oleh Kaushik Basu, guru besar ekonomi asal Cornell University, New York, AS– justru menegaskan, globalisasi adalah salah satu penyebab ketimpangan kesejahteraan. Terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena menaikkan pendapatan rata-rata, tetapi menimbulkan masalah distribusi pendapatan. (Kompas, 15/9/12).
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang,  problem ketenagakerjaan sampai saat ini masih terkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah hingga pungutan jaminan sosial yang memberatkan. Belum lagi, perlakuan yang merugikan pekerja, seperti penganiayaan, tindak asusila, penghinaan, sampai pelecehan seksual. Sehingga banyak warga Indonesia menjadi tenaga kerja luar negeri. Namun mereka, warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, banyak yang mengalami nasib yang kurang beruntung karena lemahnya Indonesia di mata dunia yang dipandang sebagai negara para koruptor dan kurang menghargai masyarakat buruh.
Untuk masalah kesejahteraan buruh, tidak cukup hanya sekadar dengan penetapan UMK atau upah tinggi. Upah nominal tinggi tidak berarti sama sekali apabila buruh masih harus menanggung beban ekonomi yang mahal untuk kehidupan sehari-harinya seperti biaya sekolah dan kesehatan yang mahal. Disebabkan kegagalan pemerintah menjaga stabilitas harga dan pelayanan publik.
Terkait masalah yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, sangat erat kaitannya dengan fungsi dan tanggungjawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Persoalan ini haruslah diselesaikan melalui kebijakan dan implementasi negara dan tidak menyerahkan penyelesaiannya semata kepada pengusaha dan pekerja. Cakupan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini antara lain, pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan) dan membuka seluas-luasnya peluang lapangan kerja.
Problem perburuhan ini umumnya terjadi karena kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja yang menjadi pilar sistem kapitalisme. Dengan kebebasan ini, seorang pengusaha yang senantiasa berorientasi keuntungan dianggap sah mengeksploitasi tenaga buruh. Dengan kebebasan ini pula, kaum buruh diberi ruang kebebasan mengekspresikan tuntutannya akan peningkatan kesejahteraan dengan memanfaatkan serikat pekerja, melakukan sejumlah intimidasi bahkan tindakan anarkis sekalipun.
Sedangkan persoalan kontrak kerja, dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan pekerja. Pemerintah dalam hal ini hanya berfungsi sebagai pengawas sekaligus penengah jika terjadi persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh pengusaha dan pekerja.
Sedangkan dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri, disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Maka tidak heran namanya Upah Minimum. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar untuk mempertahankan hidup mereka. Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan Sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.
 Di sisi lain, pengusaha atau pemilik mempekerjakan buruh dengan upah seadanya sesuai kemampuan pengusaha, sehingga tidak jarang upah buruh yang sudah minim dipotong sana sini bahkan di tunda pembayarannya gara-gara alasan ketidakmampuan pemilik modal. Buruh dipandang sebagai faktor produksi yang sama dengan faktor produksi lain misalnya bahan baku, yang apabila tidak dibutuhkan lagi akan diganti, dibuang seenaknya tanpa ada kompensasi dan memiliki keuntungan di mata pemilik modal. Mereka hanya layaknya sebuah alat produksi yang menghasilkan barang. Kondisi yang seperti ini akan menciptakan kebosanan dan akhirnya akan menurunkan produktivitas. Rendahnya produktivitas inilah yang menjadi senjata pemilik modal untuk memberikan tingkat kesejahteraan buruh yang sangat rendah.
Posisi buruh yang serba sulit juga disebabkan oleh hubungan antara buruh dan pengusaha. Dimana-mana, antara buruh dan pengusaha selalu memiliki perbedaan kepentingan yang mendasar. Di pihak buruh, motif utama ia bekerja kepada pengusaha adalah untuk mendapat upah, sebagai pertukaran atas tenaga kerja yang telah ia keluarkan untuk berproduksi. Upah yang diharapkan tidak hanya sekedar untuk memulihkan tenaganya agar dapat bekerja kembali keesokan harinya (sekedar hidup), namun juga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya secara layak sesuai dengan standar manusiawi. Di pihak pengusaha, laba dan terus mendapatkan laba sebanyak-banyaknya adalah tujuan yang utama.
Dua kepentingan yang bertolak belakang tersebut akan menghasilkan keadaan yang tidak seimbang antara buruh dengan pengusaha. Buruh tidak bisa menuntut apa-apa karena hidup mereka berada ditangan pengusaha. Solusi yang mungkin bisa membantu buruh adalah munculnya peran pihak ketiga yang mampu menjembatani sekaligus memiliki kekuatan untuk menekan pengusaha yang dalam posisi ini dipegang oleh pemerintah. Kenyataannya, pemerintah pun kemudian tidak bisa berbuat apa-apa bahkan cenderung di atur pengusaha sehingga buruh harus memperjuangkan nasibnya sendirian.
Kadang kala, buruh dituntut untuk berkompetisi dengan buruh lain untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas mereka demi mengejar kesejahteraan (bonus) yang lebih besar. Dengan kata lain, antar sesama buruh kemudian saling bersaing satu sama lain yang dalam konteks solidaritas kemudian inilah yang menghambat terbentuknya solidaritas kolektif sesama buruh. Konsekuensinya, serikat buruh tidak mendapat dukungan penuh dari semua buruh dan pemilik modal diuntungkan dengan kondisi ini.
Sistem kontrak dan outsourcing pun turut menjadi faktor penyebab sulitnya kaum buruh untuk mendapatkan kesejahteraannya. Sistem kontrak memunculkan praktek eksploitasi terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja. Buruh harus menyalurkan beberapa persen dari gaji mereka yang minim untuk disalurkan pada perusahaan yang membawa mereka. Hal ini terpaksa harus mereka lakukan demi mempertahankan pekerjaan mereka.
Upah kerja yang diterima buruh diibaratkan minimum, namun jam kerjanya maksimum. Bayangkan saja, umumnya pekerja itu di upah dengan ukuran perjam, tetapi di Indonesia untuk delapan jam mereka membayar upah sama dengan upah karyawan satu jam. Walaupun upah yang mereka terima sangat minim, tetapi pekerjaan yang harus mereka lakukan persis sama dengan karyawan tetap. Problem lainnya, selama ini upah buruh tidak sebanding dengan pengeluaran yang harus buruh keluarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Upah yang diterima mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri.
Problem makin berat, di saat buruh yang merasakan dampak langsung diberlakukannya MEA. Pemerintah belum melakukan langkah-langkah konkrit yang dapat melindungi masyarakat, seperti skema perlindungan sektor tenaga kerja dan membatasi tenaga kerja asing masuk ke Indonesia. Ini semua merupakan dampak diterapkannya sistem kapitalisme, sistem yang menyingkirkan konsep Islam dalam dunia ketenagakerjaan. Selama mindset perekonomian adalah kapitalisme selamanya kasus seperti ini akan berulang

3. Masalah Pemutusan Hubungan Kerja.
PHK adalah salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh kaum pekerja/buruh. PHK menjadi hal yang menakutkan bagi kaum pekerja/buruh dan menambah konstribusi bagi pengaangguran di Indonesia. Dalam kondisi ketika tidak terjadi ketidakseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi bencana besar yang dapat membuat buruh menjadi traumatis. Problem PHK biasanya terjadi dan menimbulkan problem lain yang lebih besar dikalangan buruh karena beberapa kondisi dalam hubungan buruh-pengusaha. Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sitem hubungan pekerja/buruh dan pengusaha telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi pekerja/buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sitem pemerintahan yang menjadikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sebagai asas politik perekonomiannya
Studi kasus
Kabar PT. Freeport Indonesia memecat delapan ribu buruh secara sepihak terus ramai diperbincangkan. Buruh berupaya memulihkan status kerja dan hak-hak yang melekat. Namun, sejauh ini negara masih acuh tak acuh dengan dengan nasib delapan ribu pendulang emas di tambang mineral terbesar di Indonesia, meski dampak PHK terus menjalar hingga merenggut nyawa buruh.
Tri Puspital, salah seorang buruh korban kesewenang-wenangan PT. Freeport berkisah tentang perjuangann ribuan rekan kerjanya yang hampir berjalan 1,5 tahun sejak PHK besar-besaran. Ia juga didatangkan untuk menjadi salah satu pemantik diskusi di MAP Corner-Klub MKP Klub pada 21 Agustus 2018 dengan tema “PT Freeport, Masalah Ketenagakerjaan & Aksi Protes Buruh” bersama dengan Ari Hermawan (Guru Besar Hukum Perburuhan UGM). Korban PHK PT. Freeport Indonesia (selanjutnya PTFI) memanfaatkan hampir seluruh kanal untuk menyuarakan tuntutan pemulihan hak-hak ketenagakerjaan. Namun ironis, Nagera dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Mimika, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bahkan Kementerian Tenagara Kerja Indonesia belum menunjukkan keseriusan. “Setiap buruh mengadu, dijawab sederhana: akan ditindaklanjuti” ungkap Tri Puspital dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP itu.
Buruh Berlawan vis á vis Freeport
Perlawanan buruh bermula saat sistem furlough diberlakukan PTFI. Furlough adalah sebuah mekanisme “merumahkan pekerja” dengan dalih tertentu, biasanya digunakan pengusaha dengan alasan “efisiensi”. Menurut Puspital “Furlough memiliki kecenderungan menyasar fungsionaris serikat untuk memberangus kekuatan buruh”.  Dalam kasus PTFI, pihak managemen PTFI lewat Riza Pratama, membantah PTFI melakukan pemberangusan serikat: “Tentu kami merumahkan yang tidak berhubungan langsung dengan operasi, misalnya yang tidak critical untuk produksi kami. Kami mempunyai kriteria-kriteria tertentu untuk merumahkan” kata Pratama via telepon di Jakarta, 12 Februari 2018, sebagaimana laporan Tirto[1].
Gambar: Suasana diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM pada Selasa, 28 Agustus 2018 dengan tema “PT Freeport, Masalah Ketenagakerjaan & Aksi Buruh”
Di balik klaim management, buruh PTFI salah satunya Puspital menilai, kriteria penentuan pekerja inti maupun bukan inti produksi itu keliru. Dikarenakan PTFI menerapkan standar core dan non coreberpatokan pada pertambangan batu bara. “Buruh yang jelas-jelas menambang, tidak dianggap pekerja inti produksi” ungkap Puspital yang turut diamini oleh belasan korban PHK sepihak yang hadir dalam diskusi.
Penetapan kriteria core dan non core tidak hanya memasifkan PHK, juga membatasi kesempatan buruh mendiskusikan persoalan menyangkut relasi industrial. Sejak kecelakaan kerja buruh -tertimbun dalam terowogan di sekitar Gresberg yang menewaskan 28 pekerja pada 2013, PTFI menyebut “kerugian” akibat pemberhentian operasi, yang ditaksir sekitar 220.000 ton per hari selama proses investigasi oleh tim independen.[2] Menyusul kemungkinan “kerugian” lain yang disebabkan oleh alotnya perundingan antara FTFI dan Pemerintah Indonesia yang merubah kontrak karya ke Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan hanya memberi konsesi jangka pendek yang kurang menjamin kepastian hukum dan fiskal.[3] Persoalan internal terkait “efisiensi” diposisikan sebagai persoalan strategis, sehingga digunakan sebagai dalih PTFI menolak buruh berunding membicarakan sebab musabab PHK sepihak.
Buruh memilih jalan radikal lewat pemogokan bertepatan pada hari buruh Internasional 1 Mei 2017. Sebagaimana yang diungkapkan Puspital, buruh melayangkan “surat sakti” jauh sebelum mogok—memperingatkan PTFI agar tidak melanjutkan kebijakan Furlough. Buruh juga menolak satu mekanisme baru yang diterapkan PTFI yang tertuang dalam Surat Perjanjian Bersama (SPB). Salah satu klausul SPB yang ditolak terkait sanksi buruh “indisipliner”.
Di samping itu, buruh juga melawan klausul dalam SPB yang mengatur masa berlaku perikatan dalam SPB: selama menjadi pekerja di PTFI. “Ketika PTFI melihat ada kemungkinan tindakan indisipliner, terutama terhitung pasca penerbitan SPB, maka PTFI dapat langsung memecat tanpa melalui perundingan, baik bipartit/tripartit maupun Peradilan Hubungan Industrial (PHI)—sehingga harus ditolak” kata Puspital.  Oleh sebab itu, perlawanan berlanjut dengan “modal nekat” mendatangi Kementerian Ketenaga Kerjaan, hingga Istana Negara, pasca PTFI “menggila” dengan memutus seluruh hak-hak perburuhan.
Akibat lain dari pemecatan sepihak dari PTFI, jaminan kesehatan ketenagakerjaan buruh diblokir sepihak oleh PTFI. Pekerja yang di-PHK pasca pemogokan pun turut menanggung akibat. Buruh tidak dapat menggunakan BPJS, sehingga ada yang harus meninggal dunia karena ditolak berobat di rumah sakit. Meski ada sebagian buruh yang beruntung menggunakan Kartu Papua Sehat. Itu pun terbatas pada pekerja Orang Asli Papua (OAP). Akibat dari langkah PTFI, mayoritas pekerja non OAP harus hidup tanpa jaminan kesehatan, bahkan bagi mereka yang sudah puluhan tahun menambang di PTFI, termasuk Tri Puspital. Sejauh ini telah tercatat 31 orang meninggal dunia akibat PHK sepihak yang turut mengalir ke pemblokiran jaminan kesehatan.
PHK Sepihak Cacat Hukum
Menanggapi pernyataan buruh PTFI, Ari Hermawan, guru besar hukum perburuhan UGM (Universitas Gadjah Mada) berpendapat bahwa mogok yang dilakukan oleh buruh PTFI adalah sah menurut hukum. “[…] apa yang dilakukan oleh buruh merupakan aksi atau perlawanan (bersifat alamiah-penyang muncul karena kesenjangan—adanya penindasan” ungkap Ari Hermawan. Sebaliknya, reaksi perusahaan yang langsung memutus hubungan kerja adalah satu bentuk interpretasi hukum yang keliru—ketika PTFI merumahkan buruh dan menganggap bukan persoalan hubungan industrial sehingga tidak perlu ada perundingan.
Merumahkan buruh sebetulnya merupakan hubungan kerja dan persoalan hubungan industrial. Dalam hal ini, Ari Hermawaan mendefinisikan hubungan kerja adalah hubungan yang timbul karena perjanjian kerja yang mengandung unsur pekerjaan, upah dan perintah. Hubungan industrial bahkan lebih luas yaitu hubungan antara pelaku dalam proses produksi meliputi pekerja, pengusaha dan pemerintah—sehingga (ketika PTFI merumahkan buruh dengan mengesampingkan relasi kerja maupun relasi industiral) adalah argumen yang keliru.
Dalam pandangan hukum ketenagakerjaan, menurut Hermawan, merumahkan pekerja merupakan salah satu modifikasi skorsing—yang butuh proses. Skorsing sendiri sebagai awalan dari proses pemutusan hubungan kerja. Sehingga, perusahaan harus memberi informasi terkait maksud atau keinginan perusahaan melakukan skorsing. Maka persoalan skorsing harus dirundingkan. Ketika alasan-alasan yang diajukan perusahaan tidak mencukupi, perusahaan tidak boleh memutuskan hubungan kerja. Rezim hukum ketenagakerjaan saat ini memandang skorsing sebagai persoalan yang tidak linier. Sebab, skorsing menyimpang dari aturan terkait hak dan kewajiban. Pekerja yang menjalani skorsing tetap menerima hak meskipun tidak menjalankan kewajiban bekerja. Hal tersebut dipandang sebagai konsekwensi logis atas keinginan perusahaan menskorsing buruh. Skorsing tidak dilanjutkan ketahapan lebih jauh, manakala perusahaan tidak cukup beralasan melakukan PHK.
Menurut Hermawan, PHK oleh PTFI bersifat normal, namun memerlukan proses penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Selama perselisihan atau perundingan berlangsung, pekerja berhak atas seluruh hak yang melekat, termasuk jaminan kesehatan atau jaminan sosial. PTFI yang melakukan PHK sepihak tanpa perundingan tidak memiliki kekuatan hukum.
Mekanisme kontrol PTFI lewat SPB juga tak berimbang. Sebagaimana PTFI “menyisipkan” ancaman pengunduran diri secara sukarela, yang tak jelas dasarnya dalam perikatan. Suatu perkara yang memicu protes buruh-buruh PTFI[4] pada klausula perikatan yang mencantumkan ancaman dalam perjanjian. Dalam perjanjian kerja minimal memiliki syarat dan asas-asas perjanjian. Sementara Perundang-undangan perburuhan maupun ketenagakerjaan yang mengatur pengunduran diri memberi waktu tiga puluh hari kerja, dan diajukan secara tertulis. Di samping itu, berlaku aturan tidak boleh ada intimidasi. Dalam kacamata Hermawan, “[…] jika terdapat pelanggaran, misalnya dalam proses pengunduran diri ada paksaan, maka kembali ke kondisi null and void, atau batal demi hukum. Dengan kata lain, dianggap tidak ada perjanjian”.
Fitrah Pemerintah Membela Kelompok Lemah
Politik hukum ketenagakerjaan di Indonesia sangat fleksibel. Negara sebagai satu-satunya otoritas yang membuat regulasi perburuhan dan ketenagakerjaan, negara juga yang mengimplementasikan regulasi, hingga menjalankan fungsi kontrol, justru absen dalam persoalan PTFI. Seperti kasus pemblokiran BPJS, negara belum menunjukkan keberpihakannya. Negara sebagai aspek aktif negara, sejatinya, dalam relasi industrial, negara dibutuhkan sebagai jembatan bagi kelompok yang lemah. Terkait “hak jaminan sosial, bukan hanya atas perjanjian kerja. Tapi hak yang muncul karena Perundang-undangan, bahkan hak konstitusional. Ketika (BPJS) memblokir karena persoalan buruh belum iuran, maka urusannya dengan pengusaha (tapi hak menerima layanan kesehatan harus tetap diberikan- pen)” Ari Hermawan menandaskan.
Begitu juga dengan persoalan pemberangusan serikat. Sistem hukum perburuhan Indoneisia tidak mengenal pemberangusan serikat (Union busting). Sepanjang pengalaman Ari Hermawan, yang sering dimintai pandangan sebagai ahli dalam sidang di PHI hakim PHI sering menolak atau mengalahkan gugatan union busting terutama keputusan dari hakim-hakim PHI yang masih mengadili perkara dengan pertimbangan yang sangat skriptualis, menggunakan Undang-undang sebagai satu-satunya rujukan pengambilan keputusan. Tak jarang, gugatan buruh yang di atas kertas bisa dimenangkan, kadang kala keputusan hakim tidak bisa diprediksi. Demikian sebaliknya, Ari Hermawan saat menjadi saksi ahli untuk pengusaha yang kasusnya secara akademis menarik (menjadi objek penelitian) yang mengajukan adalah pihak perusahaan, justru biasanya menang. Contoh-contoh rill di meja hijau, menjadi cerminan negara dan sistem hukum belum berpihak pada yang lemah. Sejatinya, “fitrah pemerintah dalam hubungan industrial diantara penguasa dan buruh adalah untuk membela kelompok yang lemah. Jika tidak membela kelompok yang lemah, maka akan muncul eksploitasi secara legal. Dan ternyata pemerintah jarang membela kelompok yang lemah, karena ada kepentingan. Pemerintah berpihak pada kelompok yang diananggap kontributif, dan celakanya itu cenderung adalah pihak pengusaha” tegas Ari Hermawan.
Kondisi buruh PTFI yang tengah memperjuangkan nasib memasuki tahap anti klimaks. Namun solidaritas kelas pekerja terus berdatangan dari berbagai elemen massa rakyat yang termarjinalkan. Terakhir dukungan datang dari rakyat korban Penggusuran Taman Sari, Bandung. Kesewenang-wenangan PTFI yang telah berlangsung lama seakan-akan dibiarkan negara. Barangkali negara ingin “memanjakan” perusahaan yang dianggap kontributif, sembari menjalankan ideologi pembangunan—yang menuntut kestabilan politik sembari meminta tumbal anak bangsa. Sejak pertama kali bercokol di Tanah Papua, PTFI selalu mendapat pelayanan prima dari negara. Negara gemar menggambar-gemborkan setengah “nasionalisasi” lewat divestasi saham, disaat yang sama, buruh yang kontribusinya tak terhitung justru terus dieksklusi hak-hak dan suara mereka dalam pengambilan keputusan.
4. Masalah Tunjangan Sosial dan Kesehatan.
Dalam masyarakat kapitalis seperti saat ini, tugas  negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutla, baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya. Jika seseorang terkena bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara mutlak. Begitu pula ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya, maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini akan menyebabkan kesulitan hidup, terutama bagi rakyat yang sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan upah yang minim sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.


Studi kasus
Dua minggu lagi, RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan diundangkan. Banyak buruh berdemo menolak undang-undang itu. Jumat, 14 Oktober, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan sebagian serikat buruh menyuarakan penolakan itu. Mereka menolak UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan klaim ”menyengsarakan semua pihak”. Ajakan itu jelas tak rasional. Sebuah UU mungkin memberatkan satu pihak, tetapi tak mungkin menyengsarakan semua pihak. UU SJSN (Nomor 40 Tahun 2004) justru mengatur perbaikan jaminan sosial untuk semua pekerja sesuai dengan amanat UUD hasil amandemen 2002. Program jaminan sosial sebelumnya—diatur UU Jamsostek 1992—tidak menjamin kesehatan pekerja yang terkena PHK, pekerja yang terkena musibah penyakit berat, dan tidak menyediakan jaminan pensiun. UU SJSN mengoreksi hal itu dengan menyediakan jaminan penyakit apa pun dan jaminan pensiun bulanan bagi semua pekerja. Selain memperbaiki jaminan sosial, UU SJSN juga menyediakan ruang kendali kepada pekerja dan pengusaha dalam pengelolaan dana jaminan sosial oleh BPJS. Mengapa ada penolakan? Buruh dibodohi Dalam berbagai interaksi dengan buruh atau serikat buruh, tampak bahwa banyak pengurus tidak paham isi UU tersebut. Kalau tidak semua paham tetapi ikut-ikutan menolak, timbul pertanyaan ”siapa penggeraknya”. Salah satu yang mereka tolak adalah perubahan PT Jamsostek menjadi BPJS Jamsostek. Alasannya, manfaat yang diterima akan berkurang. Padahal, secara teknis, hal itu tidak terjadi. Ketika berbagai bank pemerintah digabung menjadi Bank Mandiri, uang nasabah tidak hilang. Perubahan BUMN ke BPJS justru memberi kepastian kendali oleh pemilik uang (pekerja). Kini, Rp 100 triliun lebih dana pekerja di Jamsostek nyaris tak dikendalikan wakil pekerja. Aneh sekali, pekerja menolak kewenangan lebih! Mereka tak paham apa yang lebih baik untuk masa depan atau mereka dibodohi. Tuntutan untuk tidak mengubah sistem jelas tak akan menghasilkan perubahan yang lebih baik. Status quo hanya menguntungkan sebagian kecil orang yang kini menikmati lemahnya kendali pemilik dana. Perubahan dalam RUU BPJS memberi harapan terwujudnya jaminan yang lebih baik dan kendali pekerja (ataupun pengusaha) yang lebih besar. Sayang, sebagian orang mau dimanfaatkan demi status quo. Seharusnya, pekerja atau pengusaha mengkaji pasal mana yang tak menjanjikan perbaikan lalu mengusulkan kalimat pasal-pasal yang mereka inginkan, bukan menolak UU SJSN dan RUU BPJS keseluruhan. Terlalu jelas bahwa ada kekuatan di balik gerakan penolakan RUU BPJS. Untungnya, sebagian besar pekerja yang bergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial lebih cermat. Mereka telah mengusulkan rumusan pasal-pasal yang akan jauh lebih menguntungkan pekerja. Kepentingan pengusaha Di seluruh dunia, UU Jaminan Sosial selalu mewajibkan pekerja dan pemberi kerja (pengusaha) membayar iuran. Di Amerika Serikat (AS) yang kapitalis, sudah lebih dari 75 tahun pengusaha dan pekerja mengiur. Tak hanya untuk pensiun pegawainya, tetapi juga mengiur untuk seluruh biaya kesehatan penduduk berusia 65 tahun ke atas. Sistem ini disebut pay as you go. Mengapa pengusaha AS yang sering kita sebut kapitalis tidak menolak? Banyak pengusaha Indonesia menolak membayar iuran lebih besar (padahal UU BPJS tidak mengatur besaran iuran) dengan alasan beban pengusaha sudah berat dan tidak kompetitif. Jika pengusaha membayar seluruh iuran empat program Jamsostek, besar iuran maksimum hanya 12,7 persen dari gaji sebulan. Sayangnya, PT Jamsostek gagal melindungi semua pekerja. Setelah 16 tahun bekerja, hanya sekitar 9 juta (kurang dari 30 persen) dari 32 juta pekerja di sektor formal yang terlindungi. Itu sebabnya perlu perubahan. Di Malaysia, semua pekerja dijamin dengan iuran satu program, yaitu Jaminan Hari Tua, 23 persen gaji sebulan. Padahal, besaran gaji di Malaysia lebih tinggi. Mengapa pengusaha di Malaysia lebih kompetitif? Mengapa Blackberry memilih buka pabrik di Malaysia, bukan di Indonesia? Jelas, bukan jaminan sosial yang membebani. Di Indonesia, yang menjadi hambatan utama adalah kelemahan pengusaha, birokrasi, dan premanisme. Namun, jaminan sosial yang dikambinghitamkan. Nasib malang pekerja Indonesia. 

https://lifestyle.kompas.com/read/2011/10/20/02095178/buruh.dan.jaminan.sosial
5. Masalah Lapangan Pekerjaan.
Kelangkaan pekerjaan bisa terjadi ketika muncul ketidakseimbangan antara jumlah calon pekerja/buruh yang banyak, sedangkan lapangan pekerjaan relatif sedikit, atau banyaknya lapangan kerja, tapi kualitas tenaga kerja pekerja/buruh yang ada tidak sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Kelangkaan pekerjaan ini dapat menimbulkan gejolak sosial, angka pengangguran yang tinggi dapat berakibat padaa aspek sosial yang lebih luas.
Melihat permasalahan ketenagakerjaan diatas, tentu saja membutuhkan pemecahan yang baik dan sistematis, karena permasalahan tenaga kerja bukan lagi permasalahan individu yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual, tetapi merupakan persoalan sosial, yang akhirnya membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh. Persoalan  yang sangat erat hubungannya dengan fungsi dan tanggung jawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya harus diselesaikan melalui kebijakan dan pelaksanaan oleh negara bukan diselesaikan oleh pekerja/buruh dan pengusaha. Sedangkan masalah hubungan kerja dapat diselesaikan oleh pekerja/buruh dan pengusaha. Menghadapi permasalahan yang ada maka pemerintah tidak cukup dengan hanya merevisi perundang-undangan, melainkan mesti mengacu kepada akar permasalahan ketenagakerjaan itu sendiri. Ynag terpenting adalah pemerintah tidak boleh melepaskan fungsinya untuk melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya dalah hal ini kesejahteraan bagi pekerja/buruh.
Studi kasus
1. Outsourcing merana
Pekerja alih daya atau outsourcing di Indonesia diyakini sangat jauh dari sejahtera. Gaji mereka saja rata rata berbeda 30 persen dibandingkan karyawan kontrak di perusahaan yang sama.
Kepala Kajian Pekerjaan Layak LIPI Nawawi Asmat mengatakan, itu terjadi lantaran pengawasan pemerintah yang sangat lemah. Kondisi ini berbeda dengan Jepang, di mana karyawan outsourcing di sana sangat sejahtera.
"Indonesia semakin kompleks masalah outsourcing. Jepang ideal sekali dan sangat dilindungi UU nya. Pemerintah Jepang konsen dengan itu. Upah mereka tidak berbeda jauh berstatus kontrak atau tetap," ucap Nawawi di Gedung LIPI, Jakarta, Kamis (16/1).

2. Digaji kecil
Masyarakat miskin di Indonesia tidak hanya dari kalangan pengangguran atau pendidikan rendah. Hasil kajian LIPI menyebutkan, sekitar 43,67 persen pekerja Indonesia saat ini masih berada di bawah garis kemiskinan. Ini terjadi lantaran kecilnya upah dan tingginya harga barang.
Kepala Kajian Pekerjaan Layak LIPI Nawawi Asmat mengatakan dalam penelitiannya pada Februari 2012 silam, 57 persen pekerja informal dan 26,2 persen pekerja formal masih berada di bawah garis kemiskinan.
"Sehingga total pekerja kita hidup di bawah garis kemiskinan 43,67 persen," ucap Nawawi di Gedung LIPI, Jakarta, Kamis (16/1).
Pekerja yang disurvei berasal dari pelbagai bidang. Semisal pertanian, pertambangan, industri, bangunan, perdagangan, angkutan, keuangan, jasa dan lainnya. Rata rata gaji pekerja formal hanya Rp 1.227.109. Sedangkan untuk informal hanya Rp 779.812.
3. Lapangan kerja tak sesuai pendidikan
Persoalan pengangguran di Indonesia dipicu tiadanya kesesuaian antara jenjang pendidikan dan ketersediaan lapangan kerja. Kondisi ini memicu tenaga kerja terdidik, justru mengambil lahan pekerjaan kelompok tidak terampil.
Data itu disampaikan oleh Ekonom Senior Bank Dunia Vivi Alatas, dalam diskusi bertajuk 'Masalah Ketenagakerjaan: Perbaikan Untuk Semua Pihak' yang digelar di Center of Strategic and International Studies, Jakarta, Kamis (16/1).
Berdasarkan data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), lulusan pendidikan tinggi baru 5 persen dari total angkatan kerja. Alhasil, mayoritas pasar buruh diisi oleh alumnus pendidikan dasar dan menengah. Masalahnya, kata Vivi, para warga usia muda kesulitan mengakses informasi soal lapangan pekerjaan.
Akhirnya, banyak lulusan SMA bersedia melakoni pekerjaan yang seharusnya diperuntukkan untuk lulusan SD dan SMP. "Sekitar 20 persen lulusan SMA rela bekerja di sektor tanpa keterampilan, 65 persen semi-skilled," kata Vivi.
Fenomena ini imbas dari kegagalan lulusan pendidikan tinggi, khususnya para sarjana, yang juga menganggur dan akhirnya mengambil jatah lulusan SMA. Jumlah lulusan perguruan tinggi yang menganggur saat ini lima kali lipat pengangguran dewasa. Menurut Vivi, situasi ini sudah tidak sehat, apabila dibandingkan dengan mayoritas negara lain berpenghasilan menengah seperti Indonesia.
4. Akses informasi lapangan kerja sulit
Bank Dunia menyoroti fenomena lapangan kerja di Indonesia yang tidak sesuai antara kebutuhan pencari kerja dengan pengusaha sebagai pemberi kerja. Fenomena ini disinyalir muncul akibat ketimpangan informasi, terutama di kalangan anak muda yang baru lulus sekolah.
Ekonom Senior Bank Dunia Vivi Alatas mengatakan, 60 persen angkatan kerja muda terlalu mengandalkan model getok tular alias informasi dari hasil obrolan dengan teman atau keluarga.
"Ini menandakan adanya kesulitan angkatan kerja untuk mengakses informasi soal pasar kerja," ujarnya di sela-sela diskusi ketenagakerjaan yang digelar Center for Strategic and International Studies, Jakarta, Kamis (16/1).
Kondisi ini, idealnya harus dijembatani oleh pemerintah maupun pemberi kerja. Sebab, ketidaktahuan cara mencari kerja bukan cuma dialami lulusan SD atau SMP, melainkan juga SMA hingga sarjana.
5. Ketrampilan tenaga kerja rendah
Pemerintah wajib memediasi institusi pendidikan dan pengusaha. Dalam hal ini, wajib ada pelatihan di luar bursa kerja untuk menambah keterampilan generasi muda yang baru lulus sekolah.
"Indonesia harus mendorong diadakannya pelatihan keterampilan dari pemberi kerja. Untuk kebijakan seperti ini, kita kalah dari Filipina atau China," Ekonom Senior Bank Dunia Vivi Alatas.Hal ini masih ditambah adanya kekurangan mendasar dari mayoritas tenaga kerja di Indonesia. Kebanyakan mereka hebat dan tekun dalam hal teknis pekerjaan, tapi menurut Vivi lemah dalam keterampilan lunak (soft skill).
"Dari data, kebanyakan tenaga kerja terampil kita kurang di kecerdasan sikap, kemampuan Bahasa Inggris, serta pengoperasian komputer," ungkapnya.
URAIAN DEFINISI
·         Buruh,
pekerja, tenaga kerja, karyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainnya kepada pemberi kerja atau majikan atau pengusaha
·         Kaeyawan
Karyawan adalah setiap orang yang bekerja dengan menjual tenaganya (fisik dan pikiran) kepada suatu perusahaan dan memperoleh balas jasa yang sesuai dengan perjanjian (Hasibuan, 2009)
·         Gerakan buruh,.
Gerakan buruh, labourisme atau laboriousme, adalah istilah umum untuk organisasi kolektif kaum pekerja yang berkembang untuk mewakili dan mengkampanyekan kondisi dan perlakuan pekerjaan yang baik dari karyawan mereka, dan pemerintah mereka melalui implementasi hukum buruh dan pekerjaan.
Serikat Pekerja
1. Pengertian Serikat Pekerja / Serikat Buruh menurut Undang – Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh Pasal 1 Angka 1
Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
2. Pengertian Serikat Pekerja Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Angka 17 :
Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
3. Pengertian Serikat Pekerja / Serikat Buruh Menurut  UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 1 Angka 8.
Serikat Pekerja/Serikat Buruh  adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Dasar Hukum Serikat Pekerja / Serikat Buruh di Indonesia :
1.    Undang-undang Dasar Negara RI Th. 1945
2.    Piagam PBB tentang Hak2 azazi manusia Pasal 20 (ayat 1) dan pasal 23 (ayat 4)
3.    UU No. 18 th. 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 98 mengenai Hak berorganisasi dan Berunding bersama
4.    KePres No. 23 th. 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO NO. 87 tentang kebabasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi
5.    KeMenaker No. PER-201/MEN/1999 tentang Pendaftaran Serikat Pekerja
6.    KepMenaker No. PER-16/MEN/2000 tentang tata cara Pendaftaran Serikat Pekerja
7.    UU No. 21 th. 2000 tentang Serikat Pekerja (SP)
8.    UU No. 13 th. 2003 tentang Ketenagakerjaan
9.    UU No. 2 th. 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
10.  Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Serikat Pekerja yg bersangkutan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar