MASALAH BURUH DI INDONESIA
Problem
Ketenagakerjaan di Indonesia sampai saat ini masih terkait dengan sempitnya
peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya SDA tenaga kerja, upah
murah dan jaminan sosial yang seadanya. Dan juga perlakuan yang merugikan bagi
para pekerja seperti penganiayaan, tindak asusila, penghinaan, intimidasi
sampai pelecehan seksual. Akhirnya banyak warga negara Indonesia yang menjadi
tenaga kerja di luar negeri dan ini pun menyisakan masalah dengan kurangnya
perlindungan dan pengawasan dari negara terhadap para tenaga kerja Indonesia
tersebut.
Indonesia
sebagai negara bercita-cita ingin mensejahterakan rakyatnya seperti yang
terkandung dan menjadi amanat dalam Pancasila dan UUD 1945 walaupun dalam
prakteknya belum bisa mewujudkan amanat ini terutama terkait dengan
permasalahan yng dialami oleh kaum pekerja/buruh. Akar permasalahan yang
terjadi pada pekerja/buruh masih terletak pada persoalan-persoalan hubungan dan
kesepakatan antara pengusaha dan pemerintah yang akhirnya berimbas kepada
pekerja/buruh dan masyarakat sebagai konsumen. Kasus gratifikasi dan
korupsi yang melibatkan pengusaha dan pemerintah akhirnya mengakibatkan
kelalaian dalam pengawasan dan penetapan keputusan yang pada akhirnya merugikan
kaum pekerja/buruh.
https://spn.or.id/masalah-buruh-di-indonesia/
· PERANAN
DAN KEDUDUKAN BURUH DI INDONESIA
Peranan dari serikat buruh/pekerja adalah
:
- Serikat pekerja mempunyai fungsi Kanalisasi, yaitu
fungsi menyalurkan aspirasi, saran, pandangan, keluhan bahkan tuntutan
masing – masing pekerja kepada pengusaha dan sebaliknya, serikat pekerja
berfungsi sebagai saluran informasi yang lebih efektif dari pengusaha
kepada para pekerja;
- Dengan memanfaatkan jalur dan mekanisme serikat
pekerja, pengusaha dapat menghemat waktu yang cukup besar menangani
masalah – masalah ketenagakerjaan, dalam mengakomodasikan saran – saran
mereka serta untuk membina para pekerja maupun dalam memberikan perintah –
perintah, daripada melakukannya secara individu terhadap setiap pekerja;
- Penyampaian saran dari pekerja kepada pimpinan
perusahaan dan perintah dari pimpinan kepada para pekerja, akan lebih
efektif melalui serikat pekerja, karena serikat pekerja sendiri dapat
menseleksi jenis tuntutan yang realistis dan logis serta menyampaikan
tuntutan tersebut dalam bahasa yang dapat dimengerti dan diterima oleh
direksi dan perusahaan;
- Dalam manajemen modern yang menekankan pendekatan
hubungan antar manusia ( Human Approach ), diakui bahwa hubungan nonformal
dan semiformal lebih efektif atau sangat diperlukan untuk mendukung
daripada hubungan formal. Dalam hal ini serikat pekerja dapat dimanfaatkan
oleh pengusaha sebagai jalur hubungan semi formal;
- Serikat pekerja yang berfungsi dengan baik, akan
menghindari masuknya anasir – anasir luar yang dapat mengganggu kelancaran
proses produksi dan ketenagakerjaan, jika di suatu perusahaan tidak ada
PUK SPSI atau bila PUK SPSI tidak berfungsi dengan baik, maka anasir luar
dengan dalih memperjuangkan kepentingan pekerja akan mudah masuk
mencampuri masalah intern perusahaan. Pengalaman selama ini menunjukkan
bahwa campur tangan LSM, LBH dan pihak luar lainnya ke perusahaan lebih
banyak menambah rumitnya persoalan daripada mempercepat penyelesaian
masalah;
- Mewakili pekerja pada Lembaga Tripartit dan Dewan
Pengupahan pada Lembaga Departemen Tenaga Kerja sesuai tingkatan;
·
KEDUDUKAN
BURUH
di Pabrik
Dari
satu segi, pabrik dapat dipandang sebagai unit sosial. Karena itu, sebagaimana
keluarga atau masyarakat, ia memiliki struktur sosial. Para anggotanya dapat dibedakan secara vertikal (stratifikasi) dan
secara horizontal (diferensiasi).
1. Stratifikasi
Secara
vertikal pada dasarnya pabrik terdiri dari tiga kelompok:
·
Industrialis atau pengusaha pada puncak
stratifikasi Pengusaha dapat dibagi dalam subkelompok pemilik sekaligus
pengusaha (manajemen) dan pemilik tanpa jabatan struktural dalam perusahaan
·
Manajemen, pengendali utama kegiatan pabrik
sehari-hari yang kekuasaannya bersumber pada profesional atau profesional dan
kepemilikan. Manajemen dapat dibagi dalam subkelompok manajemen puncak (top
management), manajemen menengah (middle management), staf pendukung (supporting
staff).
·
buruh, tidak memiliki modal, alat produksi,
keterampilan otak yang memadai. Buruh dapat dikelompokkan dalam subkelompok
manajemen tingkat pertama, kepala regu, buruh massal.
·
Manajer lebih suka mengangkat mandor dari
luar dengan pertimbangan memiliki pemahaman yang lebih baik dalam
mengoperasikan dan atau mengawasi mesin dan pekerjaan pada umumnya, lebih mudah
berkomunikasi dengan pihak manajer, dan lebih loyal kepada manajer.
2. Diferensiasi
Secara horizontal sebenarnya setiap buruh massal berada dalam kedudukan
yang sama, hal yang membedakan adalah spesifikasi bidang tugas dan atau divisi
asal buruh yang ada di pabrik. Ada beberapa pengecualian kecil, yaitu dalam
beberapa kasus terjadi hubungan buruh yang bersifat silang. Selain pemimpin
formal dalam pabrik, kadang-kadang ada pemimpin informal dan kadang-kadang ada
juga peraturan nonformal yang disepakati bersama. Pelanggaran
terhadap kesepakatan non-formal akan mendapat sanksi sosial dari para buruh.
Dalam Masyarakat
Dalam beberapa hal ada kesejajaran antara struktur sosial di
pabrik dengan struktur sosial di
masyarakat. Stratifikasi sosial ada enam lapisan atas-atas, atas-bawah,
menengah-atas, menengah-bawah, bawah-atas, dan bawah-bawah. Stratifikasi ini
dapat disederhanakan menjadi tiga tetapi dapat menghilangkan informasi yang
relevan. Lapisan paling atas adalah menteri. Lapisan atas-bawah adalah
Gubernur, perwira tinggi, guru besar, dan pengusaha besar. lapisan
menengah-atas terdiri dari diplomat, Kepala Dati II, dokter, dosen, perwira
menengah hingga pengusaha skala menengah. Lapisan menengah-bawah terdiri dari
akuntan, asisten manajer, pastur, guru, pramugari, pengusaha kecil hingga
petani sedang dan pegawai TU.
Lapisan
bawah-atas terdiri dari masinis, nelayan, montir, sopir, satpam Untuk
memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan
berikut! Anda telah mempelajari kedudukan buruh dalam masyarakat. Untuk
memantapkan pemahaman Anda tentang topik tersebut, coba Anda buat perbandingan
stratifikasi buruh di pabrik dan masyarakat. hingga tukang bangunan. Lapisan
bawah-bawah terdiri dari kondektur, pesuruh, pembantu, tukang becak, pengemis
dan gelandangan.
Pabrik
hanya mempunyai 4 lapisan, yaitu atas-bawah, menengahatas, menengah-bawah,
bawah-atas.
·
HAK BURUH
Berlakunya dasar-dasar
daripada hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama sudah diratifikasi
oleh Indonesia menjadi bagian dari Peraturan PerUndang-Undangan Nasional yakni
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja dimana Pekerja
merupakan mitra kerja Pengusaha yang sangat penting dalam proses produksi dalam
meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya serta menjamin kelangsungan
perusahaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Hak untuk
menjadi anggota dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh merupakan
hak asasi dari pekerja/buruh yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam
pasal 28. Hak dari Serikat Buruh/Pekerja yang telah mempunyai Nomor Bukti
Pencatatan yang syah antara lain :
- Membuat
perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
- Mewakili
pekerja dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
- Mewakili
pekerja dalam lembaga ketenagakerjaan;
- Membentuk
lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan
kesejahteraan pekerja; dan
- Melakukan
kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·
KEWAJIBAN BURUH
Berdasarkan
ketentuan umum Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, serikat
pekerja merupakan organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja baik
di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,
demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan
keluarganya.
Sesuai dengan Pasal
102 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dalam
melaksanakan hubungan industrial, pekerja dan serikat pekerja mempunyai fungsi
menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi
kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan
keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan
memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
Sedangkan
kewajiban dari Serikat Pekerja yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan
ialah :
- Melindungi
dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan
kepentingannya;
- Memperjuangkan
peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya; dan
- Mempertanggung-jawabkan
kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangganya.
Pekerja juga mempunyai kewajiban yang berkaitan dengan keuangan
dan harta kekayaannya. Keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja haruslah
terpisah dari keuangan dan harta kekayaan pribadi pengurus dan anggotanya.
Keuangan serikat pekerja bersumber dari :
- Iuran
anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran rumah
tangga;
- Hasil
usaha yang sah; dan
- Bantuan
anggota atau pihak lain yang tidak mengikat.
Apabila pengurus serikat pekerja menerima bantuan dari pihak
luar negeri, maka mereka wajib untuk memberitahukan secara tertulis kepada
instansi yang bertanggung-jawab di bidang ketenagakerjaan. Bila serikat pekerja
tidak memberitahukan kepada instansi pemerintah yang berwenang tersebut, maka
dapat dikenakan sanksi administrasi pencabutan nomor bukti pencatatan serikat
pekerja dan hal ini berarti bahwa serikat pekerja tersebut kehilangan haknya
sebagai serikat pekerja (Pasal 24 UU No.21 Tahun 2000).
·
DINAMIKA
BURUH DI INDONESIA
Masalah
yang muncul akibat dari kelalaian pengawasan dan penetapan keputusan yang tidak
adil ini berupa :
1. Masalah Upah.
Salah
satu masalah yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak
sesuainya pendapatan upah yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya beserta tanggungannya. Kebutuhan hidup yang semakin
meningkat sementara upah yang diterima relative tetap, menjadi salah satu
pendorong gerakan protes kaum pekerja/buruh.
Sistem
perburuhan di Indonesia mengacu pada sistem Hubungan Industrial Pancasila,
dalam sistem ini kedudukan pengusaha dan pekerja/buruh adalah setara, memiliki
tanggung jawab yang sama, saling menghoramti dan saling memahami. Semua
kepentingan harus dibicarakan secara musyawarah. Pemerintah berkepentingan
terhadap masalah upah, karena upah merupakan sarana pemerataan pendapatan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus terkait dengan kemajuan
perusahaan yang nantinya berpengaruh pada perkembangan perekonomian nasional
dana atau daerah. Untuk mengatasi permasalahan upah pemerintah biasanya
menetapkan batas minimal upah/Upah Minimum Regional yang harus dibayarkan
perusahaan kepada pekerjanya, walaupun penetapan UMK ini sebenernya bermasalah
kerena seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh ddalam
mewujudkan hasil usaha dari peruasahaan yang bersangkutan.
Studi kasus
Bagaimana sebenarnya upah di Indonesia bila
dibandingkan dengan negara-negara lain? Berikut perbandingan yang dihimpun dari
berbagai sumber.
Thailand (Rp3,90-4,17 juta)
Pemerintah Thailand baru saja memberlakukan
kebijakan upah baru mulai April 2018 setelah terakhir kali direvisi 5 tahun
lalu. Revisi tersebut membuat standar upah minimum di Negeri Gajah itu berada
pada rentang 9.240-9.900 baht
Standar upah tertinggi ada di dua kota
industri yakni Chonburi dan Rayong, yaitu 9.900 baht atau 309 dolar AS. (1
dolar AS : 31,96 baht). Untuk kota Bangkok dan sekitarnya, standar upahnya
sedikit lebih rendah yaitu 9.750 baht atau 305 dolar AS. Adapun minimum
terendah yang berlaku di 77 provinsi di Thailand dipatok 9.240 baht atau 289
dolar AS. Kebijakan yang baru saja berlaku ini menjadikan Thailand sebagai
negara tertinggi di ASEAN dalam menetapkan standar upah.
Standar upah: (289-309 dolar AS)
Malaysia (Rp3,17-3,45 juta)
Standar upah minimum di Malaysia tidak pernah
direvisi sejak 2013. Di Malaysia bagian Barat, upah minimum dipatok 1.000
ringgit atau setara 256 dolar AS (1 dolar AS: 3,9 ringgit) sementara standar
upah di Malaysia bagian Timur yang mencakup Sabah, Serawak, dan Labuan
ditetapkan 920 ringgit atau 235 dolar AS.
Wacana revisi terhadap standar upah mengemuka
di tahun politik. Sejumlah partai politik berhaluan kiri berjanji menaikkan
standar upah minimal menjadi 1.500 ringgit jika menang pemilu. Jika benar terwujud,
buruh Malaysia akan memperoleh upah sedikitnya Rp5,2 juta. Yang pasti,
pemerintah tengah mengkaji standar upah baru dan dipastikan akan berlaku tahun
depan.
Standar upah: (235-256 dolar AS)
Indonesia (Rp1,45-3,91 juta)
Berbeda dengan sejumlah negara ASEAN yang
merevisi standar upah minimal lima tahun sekali, Indonesia mengubahnya setiap
tahun sekali berdasarkan indikator pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Standar upah minimum buruh di Indonesia
memiliki variasi ekstrem berdasarkan lokasi. DKI Jakarta menjadi provinsi
tertinggi untuk upah minimum yaitu Rp3,65 juta atau sekitar 270 dolar AS
sebulan (1 dolar AS: Rp13.500). Sementara Yogyakarta menjadi provinsi dengan
upah minimum terendah yaitu Rp1,45 juta atau hanya 107 dolar AS.
Namun, penentuan upah minimum di tingkat
kabupaten/kota bisa berbeda. Kota Bekasi dan kabupaten Karawang misalnya
memiliki standar upah Rp3,91 juta atau 289 dolar AS, lebih tinggi dari standar
upah provinsi Jawa Barat Rp1,5 juta.
Standar upah: (107-289 dolar AS)
Vietnam (Rp2-2,3 juta)
Mulai tahun ini 2018, Vietnam menetapkan
standar upah minimum baru. Ada dua jenis standar upah di negara hub industri
tersebut. Pertama, upah untuk pegawai negeri dipatok 1,39 juta dong atau 61
dolar AS (1 dolar AS: 22.800 dong). Standar ini berlaku mulai Juli 2018.
Sebelum berlaku, pegawai akan mendapatkan 1,39 juta dong atau 57 dolar AS.
Untuk pegawai swasta, standar upah minimum
berbeda tergantung lokasi yang ditentukan. Wilayah I memiliki standar tertinggi
hingga 3,98 juta dong atau 174 dolar AS. Wilayah ini mencakup sejumlah kota
besar, termasuk Hanoi dan Ho Chi Minh. Sementara Wilayah IV memiliki standar
upah terendah 2,76 juta dong atau 154 dolar AS.
Standar upah: (154-174 dolar AS).
Filipina (Rp2,44-3,17 juta)
Standar upah minimum di Filipina berbeda tiap
wilayah antara 9.240 peso atau 181 dolar AS hingga 12.000 peso atau 235 dolar
AS. (1 dolar AS: 51 baht). Wilayah IV-A yang mencakup kota-kota pusat industri
memiliki standar upah tertinggi yaitu 12.000 peso. Wilayah VII menjadi yang
terendah meski standarnya bervariasi antara 9.240-10.980 peso.
2. Masalah Pemenuhan Kebutuhan dan
Kesejahteraan Hidup.
Aristoteles
(filsuf Yunani) mendefinisikan kebutuhan mendasar manusia adalah semua
kebutuhan dasar yang menyangkut dimensi manusia meliputi kebutuhan material,
kesehatan, kebutuhan sosial (diterima masyarakat) hingga kebutuhan untuk
meng-aktualisasi sebagai manusia. Implikasinya adalah setiap manusia berhak
untuk secara leluasa mengambil inisiatif untuk memenuhi kebutuhannya. Hak
pemenuhan kebutuhan hidup didasarkan pada fakta bahwa manusia adalah mahluk
biologis yang memiliki kebutuhan dasar biologis meliputi kecakupan makanan,
perlindungan, pakaian, perawatan medis dan pendidikan. Ketika para
pekerja/buruh hanya memlliki sumber pendapatan berupa upah, maka pencapaian
kesejahteraan bergantung pada kemampuan upah dalam memenuhi berbagai kebutuhan
hidupnya. Dalam kenyataanya, jumlah upah relatif tetap, sementara kebutuhan
hidup selalu bertambah seperti biaya pendidikan, perumahan, sakit dll. Hal ini
menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat termasuk pekerja/buruh semakin
rendah. Seharusnya pemerintah tidak lepas tangan dari usaha pemenuhan kebutuhan
dasar rakyatnya apalagi menyangkut kebutuhan pokok.
Studi kasus
Bicara kesejahteraan, kehidupan
buruh cenderung marjinal. Berbicara hak-hak pekerja, berarti kita membicarakan
kewajiban dan hak-hak yang melekat pada diri buruh. Hampir di semua negara saat
ini, problem ketenagakerjaan atau perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik
di negara maju maupun berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme
maupun sosialisme. Hal demikian terlihat dari adanya departemen yang mengurusi
ketenagakerjaan pada setiap kabinet yang dibentuk. Hanya saja realitas tiap
negara memberikan beragam solusi, namun sering memunculkan berbagai problem
baru.
Komentar Eric Stark Maskin,
Born, AS –peraih Nobel Ekonomi 2007– patut kita perhatikan. Ada banyak ekonom
dunia yang percaya bahwa kerja kontrak alih daya dan politik upah murah adalah
prasyarat keunggulan dan pertumbuhan ekonomi sebuah negara di era globalisasi.
Padahal, hasil observasi Maskin –juga oleh Kaushik Basu, guru besar ekonomi
asal Cornell University, New York, AS– justru menegaskan, globalisasi adalah
salah satu penyebab ketimpangan kesejahteraan. Terutama di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, karena menaikkan pendapatan rata-rata, tetapi
menimbulkan masalah distribusi pendapatan. (Kompas, 15/9/12).
Indonesia sebagai salah
satu negara berkembang, problem ketenagakerjaan sampai saat ini masih
terkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya
kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah hingga pungutan jaminan
sosial yang memberatkan. Belum lagi, perlakuan yang merugikan pekerja, seperti
penganiayaan, tindak asusila, penghinaan, sampai pelecehan seksual. Sehingga
banyak warga Indonesia menjadi tenaga kerja luar negeri. Namun mereka, warga
negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, banyak yang mengalami nasib yang
kurang beruntung karena lemahnya Indonesia di mata dunia yang dipandang sebagai
negara para koruptor dan kurang menghargai masyarakat buruh.
Untuk masalah kesejahteraan
buruh, tidak cukup hanya sekadar dengan penetapan UMK atau upah tinggi. Upah
nominal tinggi tidak berarti sama sekali apabila buruh masih harus menanggung
beban ekonomi yang mahal untuk kehidupan sehari-harinya seperti biaya sekolah
dan kesehatan yang mahal. Disebabkan kegagalan pemerintah menjaga stabilitas
harga dan pelayanan publik.
Terkait masalah yang
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, sangat erat kaitannya
dengan fungsi dan tanggungjawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya. Persoalan ini haruslah diselesaikan melalui kebijakan dan
implementasi negara dan tidak menyerahkan penyelesaiannya semata kepada
pengusaha dan pekerja. Cakupan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini antara
lain, pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat (sandang, pangan, papan, pendidikan,
kesehatan dan keamanan) dan membuka seluas-luasnya peluang lapangan kerja.
Problem perburuhan ini
umumnya terjadi karena kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja yang menjadi
pilar sistem kapitalisme. Dengan kebebasan ini, seorang pengusaha yang
senantiasa berorientasi keuntungan dianggap sah mengeksploitasi tenaga buruh.
Dengan kebebasan ini pula, kaum buruh diberi ruang kebebasan mengekspresikan
tuntutannya akan peningkatan kesejahteraan dengan memanfaatkan serikat pekerja,
melakukan sejumlah intimidasi bahkan tindakan anarkis sekalipun.
Sedangkan persoalan kontrak
kerja, dapat diselesaikan sendiri oleh pengusaha dan pekerja. Pemerintah dalam
hal ini hanya berfungsi sebagai pengawas sekaligus penengah jika terjadi
persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh pengusaha dan pekerja.
Sedangkan dasar yang memicu
konflik buruh dan pengusaha sendiri, disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang
digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya
hidup) terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan
gaji buruh. Maka tidak heran namanya Upah Minimum. Dengan kata lain, para buruh
tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya
mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar untuk mempertahankan hidup mereka.
Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para
pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang
kemudian memicu lahirnya gagasan Sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu
kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.
Di sisi lain,
pengusaha atau pemilik mempekerjakan buruh dengan upah seadanya sesuai
kemampuan pengusaha, sehingga tidak jarang upah buruh yang sudah minim dipotong
sana sini bahkan di tunda pembayarannya gara-gara alasan ketidakmampuan pemilik
modal. Buruh dipandang sebagai faktor produksi yang sama dengan faktor produksi
lain misalnya bahan baku, yang apabila tidak dibutuhkan lagi akan diganti,
dibuang seenaknya tanpa ada kompensasi dan memiliki keuntungan di mata pemilik
modal. Mereka hanya layaknya sebuah alat produksi yang menghasilkan barang.
Kondisi yang seperti ini akan menciptakan kebosanan dan akhirnya akan
menurunkan produktivitas. Rendahnya produktivitas inilah yang menjadi senjata
pemilik modal untuk memberikan tingkat kesejahteraan buruh yang sangat rendah.
Posisi buruh yang serba
sulit juga disebabkan oleh hubungan antara buruh dan pengusaha. Dimana-mana,
antara buruh dan pengusaha selalu memiliki perbedaan kepentingan yang mendasar.
Di pihak buruh, motif utama ia bekerja kepada pengusaha adalah untuk mendapat
upah, sebagai pertukaran atas tenaga kerja yang telah ia keluarkan untuk
berproduksi. Upah yang diharapkan tidak hanya sekedar untuk memulihkan
tenaganya agar dapat bekerja kembali keesokan harinya (sekedar hidup), namun
juga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya secara layak
sesuai dengan standar manusiawi. Di pihak pengusaha, laba dan terus mendapatkan
laba sebanyak-banyaknya adalah tujuan yang utama.
Dua kepentingan yang
bertolak belakang tersebut akan menghasilkan keadaan yang tidak seimbang antara
buruh dengan pengusaha. Buruh tidak bisa menuntut apa-apa karena hidup mereka
berada ditangan pengusaha. Solusi yang mungkin bisa membantu buruh adalah
munculnya peran pihak ketiga yang mampu menjembatani sekaligus memiliki
kekuatan untuk menekan pengusaha yang dalam posisi ini dipegang oleh
pemerintah. Kenyataannya, pemerintah pun kemudian tidak bisa berbuat apa-apa
bahkan cenderung di atur pengusaha sehingga buruh harus memperjuangkan nasibnya
sendirian.
Kadang kala, buruh dituntut
untuk berkompetisi dengan buruh lain untuk meningkatkan kinerja dan
produktivitas mereka demi mengejar kesejahteraan (bonus) yang lebih besar.
Dengan kata lain, antar sesama buruh kemudian saling bersaing satu sama lain
yang dalam konteks solidaritas kemudian inilah yang menghambat terbentuknya
solidaritas kolektif sesama buruh. Konsekuensinya, serikat buruh tidak mendapat
dukungan penuh dari semua buruh dan pemilik modal diuntungkan dengan kondisi
ini.
Sistem kontrak dan outsourcing pun
turut menjadi faktor penyebab sulitnya kaum buruh untuk mendapatkan kesejahteraannya.
Sistem kontrak memunculkan praktek eksploitasi terhadap tenaga kerja yang
dilakukan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja. Buruh harus menyalurkan
beberapa persen dari gaji mereka yang minim untuk disalurkan pada perusahaan
yang membawa mereka. Hal ini terpaksa harus mereka lakukan demi mempertahankan
pekerjaan mereka.
Upah kerja yang diterima
buruh diibaratkan minimum, namun jam kerjanya maksimum. Bayangkan saja, umumnya
pekerja itu di upah dengan ukuran perjam, tetapi di Indonesia untuk delapan jam
mereka membayar upah sama dengan upah karyawan satu jam. Walaupun upah yang
mereka terima sangat minim, tetapi pekerjaan yang harus mereka lakukan persis
sama dengan karyawan tetap. Problem lainnya, selama ini upah buruh tidak
sebanding dengan pengeluaran yang harus buruh keluarkan untuk memenuhi
kebutuhan pokok mereka. Upah yang diterima mungkin cukup untuk memenuhi
kebutuhan pribadi, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri.
Problem makin berat, di
saat buruh yang merasakan dampak langsung diberlakukannya MEA. Pemerintah belum
melakukan langkah-langkah konkrit yang dapat melindungi masyarakat, seperti
skema perlindungan sektor tenaga kerja dan membatasi tenaga kerja asing masuk
ke Indonesia. Ini semua merupakan dampak diterapkannya sistem kapitalisme,
sistem yang menyingkirkan konsep Islam dalam dunia ketenagakerjaan. Selama
mindset perekonomian adalah kapitalisme selamanya kasus seperti ini akan
berulang
3. Masalah Pemutusan Hubungan
Kerja.
PHK
adalah salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh kaum pekerja/buruh. PHK
menjadi hal yang menakutkan bagi kaum pekerja/buruh dan menambah konstribusi
bagi pengaangguran di Indonesia. Dalam kondisi ketika tidak terjadi
ketidakseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya
sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi bencana besar yang dapat
membuat buruh menjadi traumatis. Problem PHK biasanya terjadi dan menimbulkan
problem lain yang lebih besar dikalangan buruh karena beberapa kondisi dalam
hubungan buruh-pengusaha. Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau
kondisi sitem hubungan pekerja/buruh dan pengusaha telah seimbang dan adanya
jaminan kebutuhan pokok bagi pekerja/buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh
sitem pemerintahan yang menjadikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sebagai
asas politik perekonomiannya
Studi kasus
Kabar PT. Freeport
Indonesia memecat delapan ribu buruh secara sepihak terus ramai
diperbincangkan. Buruh berupaya memulihkan status kerja dan hak-hak yang
melekat. Namun, sejauh ini negara masih acuh tak acuh dengan dengan nasib
delapan ribu pendulang emas di tambang mineral terbesar di Indonesia, meski
dampak PHK terus menjalar hingga merenggut nyawa buruh.
Tri Puspital, salah
seorang buruh korban kesewenang-wenangan PT. Freeport berkisah tentang
perjuangann ribuan rekan kerjanya yang hampir berjalan 1,5 tahun sejak PHK
besar-besaran. Ia juga didatangkan untuk menjadi salah satu pemantik diskusi di
MAP Corner-Klub MKP Klub pada 21 Agustus 2018 dengan tema “PT Freeport, Masalah
Ketenagakerjaan & Aksi Protes Buruh” bersama dengan Ari Hermawan (Guru
Besar Hukum Perburuhan UGM). Korban PHK PT. Freeport Indonesia (selanjutnya
PTFI) memanfaatkan hampir seluruh kanal untuk menyuarakan tuntutan pemulihan
hak-hak ketenagakerjaan. Namun ironis, Nagera dalam hal ini Pemerintah
Kabupaten Mimika, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bahkan
Kementerian Tenagara Kerja Indonesia belum menunjukkan keseriusan. “Setiap buruh mengadu, dijawab sederhana:
akan ditindaklanjuti” ungkap Tri Puspital dalam diskusi MAP
Corner-Klub MKP itu.
Buruh
Berlawan vis á vis Freeport
Perlawanan buruh bermula
saat sistem furlough diberlakukan
PTFI. Furlough adalah
sebuah mekanisme “merumahkan pekerja” dengan dalih tertentu, biasanya digunakan
pengusaha dengan alasan “efisiensi”. Menurut Puspital “Furlough memiliki kecenderungan menyasar
fungsionaris serikat untuk memberangus kekuatan buruh”. Dalam
kasus PTFI, pihak managemen PTFI lewat Riza Pratama, membantah PTFI melakukan
pemberangusan serikat: “Tentu
kami merumahkan yang tidak berhubungan langsung dengan operasi, misalnya yang
tidak critical untuk produksi kami. Kami mempunyai kriteria-kriteria
tertentu untuk merumahkan” kata Pratama via telepon di Jakarta, 12
Februari 2018, sebagaimana laporan Tirto[1].
Gambar: Suasana diskusi MAP
Corner-Klub MKP UGM pada Selasa, 28 Agustus 2018 dengan tema “PT Freeport,
Masalah Ketenagakerjaan & Aksi Buruh”
Di balik klaim management,
buruh PTFI salah satunya Puspital menilai, kriteria penentuan pekerja inti
maupun bukan inti produksi itu keliru. Dikarenakan PTFI menerapkan
standar core dan non coreberpatokan
pada pertambangan batu bara. “Buruh
yang jelas-jelas menambang, tidak dianggap pekerja inti produksi”
ungkap Puspital yang turut diamini oleh belasan korban PHK sepihak yang hadir
dalam diskusi.
Penetapan kriteria core dan non core tidak hanya
memasifkan PHK, juga membatasi kesempatan buruh mendiskusikan persoalan
menyangkut relasi industrial. Sejak kecelakaan kerja buruh -tertimbun dalam
terowogan di sekitar Gresberg yang menewaskan 28 pekerja pada 2013, PTFI
menyebut “kerugian” akibat pemberhentian operasi, yang ditaksir sekitar 220.000
ton per hari selama proses investigasi oleh tim independen.[2] Menyusul
kemungkinan “kerugian” lain yang disebabkan oleh alotnya perundingan antara
FTFI dan Pemerintah Indonesia yang merubah kontrak karya ke Ijin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) dan hanya memberi konsesi jangka pendek yang kurang
menjamin kepastian hukum dan fiskal.[3] Persoalan
internal terkait “efisiensi” diposisikan sebagai persoalan strategis, sehingga
digunakan sebagai dalih PTFI menolak buruh berunding membicarakan sebab musabab
PHK sepihak.
Buruh memilih jalan
radikal lewat pemogokan bertepatan pada hari buruh Internasional 1 Mei 2017.
Sebagaimana yang diungkapkan Puspital, buruh melayangkan “surat sakti” jauh
sebelum mogok—memperingatkan PTFI agar tidak melanjutkan kebijakan Furlough. Buruh juga
menolak satu mekanisme baru yang diterapkan PTFI yang tertuang dalam Surat
Perjanjian Bersama (SPB). Salah satu klausul SPB yang ditolak terkait sanksi
buruh “indisipliner”.
Di samping itu, buruh juga
melawan klausul dalam SPB yang mengatur masa berlaku perikatan dalam SPB:
selama menjadi pekerja di PTFI. “Ketika
PTFI melihat ada kemungkinan tindakan indisipliner, terutama terhitung pasca
penerbitan SPB, maka PTFI dapat langsung memecat tanpa melalui perundingan,
baik bipartit/tripartit maupun Peradilan Hubungan Industrial (PHI)—sehingga harus ditolak”
kata Puspital. Oleh sebab itu, perlawanan berlanjut dengan “modal nekat”
mendatangi Kementerian Ketenaga Kerjaan, hingga Istana Negara, pasca PTFI
“menggila” dengan memutus seluruh hak-hak perburuhan.
Akibat lain dari pemecatan
sepihak dari PTFI, jaminan kesehatan ketenagakerjaan buruh diblokir sepihak
oleh PTFI. Pekerja yang di-PHK pasca pemogokan pun turut menanggung akibat.
Buruh tidak dapat menggunakan BPJS, sehingga ada yang harus meninggal dunia karena
ditolak berobat di rumah sakit. Meski ada sebagian buruh yang beruntung
menggunakan Kartu Papua Sehat. Itu pun terbatas pada pekerja Orang Asli Papua
(OAP). Akibat dari langkah PTFI, mayoritas pekerja non OAP harus hidup tanpa
jaminan kesehatan, bahkan bagi mereka yang sudah puluhan tahun menambang di
PTFI, termasuk Tri Puspital. Sejauh ini telah tercatat 31 orang meninggal dunia
akibat PHK sepihak yang turut mengalir ke pemblokiran jaminan kesehatan.
PHK
Sepihak Cacat Hukum
Menanggapi pernyataan
buruh PTFI, Ari Hermawan, guru besar hukum perburuhan UGM (Universitas Gadjah
Mada) berpendapat bahwa mogok yang dilakukan oleh buruh PTFI adalah sah menurut
hukum. “[…] apa yang
dilakukan oleh buruh merupakan aksi atau perlawanan (bersifat
alamiah-pen) yang muncul karena kesenjangan—adanya
penindasan” ungkap Ari Hermawan. Sebaliknya, reaksi perusahaan yang
langsung memutus hubungan kerja adalah satu bentuk interpretasi hukum yang
keliru—ketika PTFI merumahkan buruh dan menganggap bukan persoalan hubungan
industrial sehingga tidak perlu ada perundingan.
Merumahkan buruh
sebetulnya merupakan hubungan kerja dan persoalan hubungan industrial. Dalam
hal ini, Ari Hermawaan mendefinisikan hubungan kerja adalah hubungan yang
timbul karena perjanjian kerja yang mengandung unsur pekerjaan, upah dan
perintah. Hubungan industrial bahkan lebih luas yaitu hubungan antara pelaku
dalam proses produksi meliputi pekerja, pengusaha dan pemerintah—sehingga
(ketika PTFI merumahkan buruh dengan mengesampingkan relasi kerja maupun relasi
industiral) adalah argumen yang keliru.
Dalam pandangan hukum
ketenagakerjaan, menurut Hermawan, merumahkan pekerja merupakan salah satu
modifikasi skorsing—yang butuh proses. Skorsing sendiri sebagai awalan dari
proses pemutusan hubungan kerja. Sehingga, perusahaan harus memberi informasi
terkait maksud atau keinginan perusahaan melakukan skorsing. Maka persoalan
skorsing harus dirundingkan. Ketika alasan-alasan yang diajukan perusahaan
tidak mencukupi, perusahaan tidak boleh memutuskan hubungan kerja. Rezim hukum
ketenagakerjaan saat ini memandang skorsing sebagai persoalan yang tidak
linier. Sebab, skorsing menyimpang dari aturan terkait hak dan kewajiban.
Pekerja yang menjalani skorsing tetap menerima hak meskipun tidak menjalankan
kewajiban bekerja. Hal tersebut dipandang sebagai konsekwensi logis atas
keinginan perusahaan menskorsing buruh. Skorsing tidak dilanjutkan ketahapan
lebih jauh, manakala perusahaan tidak cukup beralasan melakukan PHK.
Menurut Hermawan, PHK oleh
PTFI bersifat normal, namun memerlukan proses penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Selama perselisihan atau
perundingan berlangsung, pekerja berhak atas seluruh hak yang melekat, termasuk
jaminan kesehatan atau jaminan sosial. PTFI yang melakukan PHK sepihak tanpa
perundingan tidak memiliki kekuatan hukum.
Mekanisme kontrol PTFI
lewat SPB juga tak berimbang. Sebagaimana PTFI “menyisipkan” ancaman
pengunduran diri secara sukarela, yang tak jelas dasarnya dalam perikatan.
Suatu perkara yang memicu protes buruh-buruh PTFI[4] pada
klausula perikatan yang mencantumkan ancaman dalam perjanjian. Dalam perjanjian
kerja minimal memiliki syarat dan asas-asas perjanjian. Sementara
Perundang-undangan perburuhan maupun ketenagakerjaan yang mengatur pengunduran
diri memberi waktu tiga puluh hari kerja, dan diajukan secara tertulis. Di
samping itu, berlaku aturan tidak boleh ada intimidasi. Dalam kacamata
Hermawan, “[…] jika
terdapat pelanggaran, misalnya dalam proses pengunduran diri ada paksaan, maka
kembali ke kondisi null and void, atau batal demi hukum. Dengan kata lain,
dianggap tidak ada perjanjian”.
Fitrah
Pemerintah Membela Kelompok Lemah
Politik hukum
ketenagakerjaan di Indonesia sangat fleksibel. Negara sebagai satu-satunya
otoritas yang membuat regulasi perburuhan dan ketenagakerjaan, negara juga yang
mengimplementasikan regulasi, hingga menjalankan fungsi kontrol, justru absen
dalam persoalan PTFI. Seperti kasus pemblokiran BPJS, negara belum menunjukkan
keberpihakannya. Negara sebagai aspek aktif negara, sejatinya, dalam relasi
industrial, negara dibutuhkan sebagai jembatan bagi kelompok yang lemah.
Terkait “hak jaminan sosial,
bukan hanya atas perjanjian kerja. Tapi hak yang muncul karena
Perundang-undangan, bahkan hak konstitusional. Ketika (BPJS) memblokir karena
persoalan buruh belum iuran, maka urusannya dengan pengusaha (tapi
hak menerima layanan kesehatan harus tetap diberikan- pen)” Ari Hermawan
menandaskan.
Begitu juga dengan
persoalan pemberangusan serikat. Sistem hukum perburuhan Indoneisia tidak
mengenal pemberangusan serikat (Union
busting). Sepanjang pengalaman Ari Hermawan, yang sering
dimintai pandangan sebagai ahli dalam sidang di PHI hakim PHI sering menolak
atau mengalahkan gugatan union
busting terutama keputusan dari hakim-hakim PHI yang masih
mengadili perkara dengan pertimbangan yang sangat skriptualis, menggunakan
Undang-undang sebagai satu-satunya rujukan pengambilan keputusan. Tak jarang,
gugatan buruh yang di atas kertas bisa dimenangkan, kadang kala keputusan hakim
tidak bisa diprediksi. Demikian sebaliknya, Ari Hermawan saat menjadi saksi
ahli untuk pengusaha yang kasusnya secara akademis menarik (menjadi objek
penelitian) yang mengajukan adalah pihak perusahaan, justru biasanya menang.
Contoh-contoh rill di meja hijau, menjadi cerminan negara dan sistem hukum
belum berpihak pada yang lemah. Sejatinya, “fitrah
pemerintah dalam hubungan industrial diantara penguasa dan buruh adalah untuk
membela kelompok yang lemah. Jika tidak membela kelompok yang lemah, maka akan
muncul eksploitasi secara legal. Dan ternyata pemerintah jarang membela
kelompok yang lemah, karena ada kepentingan. Pemerintah berpihak pada kelompok
yang diananggap kontributif, dan celakanya itu cenderung adalah pihak pengusaha”
tegas Ari Hermawan.
Kondisi buruh PTFI yang
tengah memperjuangkan nasib memasuki tahap anti klimaks. Namun solidaritas
kelas pekerja terus berdatangan dari berbagai elemen massa rakyat yang
termarjinalkan. Terakhir dukungan datang dari rakyat korban Penggusuran Taman
Sari, Bandung. Kesewenang-wenangan PTFI yang telah berlangsung lama seakan-akan
dibiarkan negara. Barangkali negara ingin “memanjakan” perusahaan yang dianggap
kontributif, sembari menjalankan ideologi pembangunan—yang menuntut kestabilan
politik sembari meminta tumbal anak bangsa. Sejak pertama kali bercokol di
Tanah Papua, PTFI selalu mendapat pelayanan prima dari negara. Negara gemar
menggambar-gemborkan setengah “nasionalisasi” lewat divestasi saham, disaat
yang sama, buruh yang kontribusinya tak terhitung justru terus dieksklusi
hak-hak dan suara mereka dalam pengambilan keputusan.
4. Masalah Tunjangan Sosial dan
Kesehatan.
Dalam
masyarakat kapitalis seperti saat ini, tugas negara lebih pada fungsi
regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Sistem ini tidak mengenal
tugas negara sebagai pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar
rakyatnya. Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutla,
baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya. Jika
seseorang terkena bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja
lebih keras secara mutlak. Begitu pula ketika ia sudah tidak mampu bekerja
karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya, maka ia tidak punya pintu
pemasukan dana lagi. Kondisi ini akan menyebabkan kesulitan hidup, terutama
bagi rakyat yang sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan upah yang minim
sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Studi kasus
Dua minggu lagi, RUU Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial akan diundangkan. Banyak buruh berdemo menolak undang-undang
itu. Jumat, 14 Oktober, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan sebagian
serikat buruh menyuarakan penolakan itu. Mereka menolak UU Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) dan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan
klaim ”menyengsarakan semua pihak”. Ajakan itu jelas tak rasional. Sebuah UU
mungkin memberatkan satu pihak, tetapi tak mungkin menyengsarakan semua pihak.
UU SJSN (Nomor 40 Tahun 2004) justru mengatur perbaikan jaminan sosial untuk
semua pekerja sesuai dengan amanat UUD hasil amandemen 2002. Program jaminan
sosial sebelumnya—diatur UU Jamsostek 1992—tidak menjamin kesehatan pekerja
yang terkena PHK, pekerja yang terkena musibah penyakit berat, dan tidak
menyediakan jaminan pensiun. UU SJSN mengoreksi hal itu dengan menyediakan
jaminan penyakit apa pun dan jaminan pensiun bulanan bagi semua pekerja. Selain
memperbaiki jaminan sosial, UU SJSN juga menyediakan ruang kendali kepada
pekerja dan pengusaha dalam pengelolaan dana jaminan sosial oleh BPJS. Mengapa
ada penolakan? Buruh dibodohi Dalam berbagai interaksi dengan buruh atau
serikat buruh, tampak bahwa banyak pengurus tidak paham isi UU tersebut. Kalau
tidak semua paham tetapi ikut-ikutan menolak, timbul pertanyaan ”siapa penggeraknya”.
Salah satu yang mereka tolak adalah perubahan PT Jamsostek menjadi BPJS
Jamsostek. Alasannya, manfaat yang diterima akan berkurang. Padahal, secara
teknis, hal itu tidak terjadi. Ketika berbagai bank pemerintah digabung menjadi
Bank Mandiri, uang nasabah tidak hilang. Perubahan BUMN ke BPJS justru memberi
kepastian kendali oleh pemilik uang (pekerja). Kini, Rp 100 triliun lebih dana
pekerja di Jamsostek nyaris tak dikendalikan wakil pekerja. Aneh sekali,
pekerja menolak kewenangan lebih! Mereka tak paham apa yang lebih baik untuk
masa depan atau mereka dibodohi. Tuntutan untuk tidak mengubah sistem jelas tak
akan menghasilkan perubahan yang lebih baik. Status quo hanya menguntungkan
sebagian kecil orang yang kini menikmati lemahnya kendali pemilik dana.
Perubahan dalam RUU BPJS memberi harapan terwujudnya jaminan yang lebih baik
dan kendali pekerja (ataupun pengusaha) yang lebih besar. Sayang, sebagian
orang mau dimanfaatkan demi status quo. Seharusnya, pekerja atau pengusaha
mengkaji pasal mana yang tak menjanjikan perbaikan lalu mengusulkan kalimat
pasal-pasal yang mereka inginkan, bukan menolak UU SJSN dan RUU BPJS
keseluruhan. Terlalu jelas bahwa ada kekuatan di balik gerakan penolakan RUU
BPJS. Untungnya, sebagian besar pekerja yang bergabung dalam Komite Aksi
Jaminan Sosial lebih cermat. Mereka telah mengusulkan rumusan pasal-pasal yang
akan jauh lebih menguntungkan pekerja. Kepentingan pengusaha Di seluruh dunia,
UU Jaminan Sosial selalu mewajibkan pekerja dan pemberi kerja (pengusaha) membayar
iuran. Di Amerika Serikat (AS) yang kapitalis, sudah lebih dari 75 tahun
pengusaha dan pekerja mengiur. Tak hanya untuk pensiun pegawainya, tetapi juga
mengiur untuk seluruh biaya kesehatan penduduk berusia 65 tahun ke atas. Sistem
ini disebut pay as you go. Mengapa pengusaha AS yang sering kita sebut
kapitalis tidak menolak? Banyak pengusaha Indonesia menolak membayar iuran
lebih besar (padahal UU BPJS tidak mengatur besaran iuran) dengan alasan beban
pengusaha sudah berat dan tidak kompetitif. Jika pengusaha membayar seluruh
iuran empat program Jamsostek, besar iuran maksimum hanya 12,7 persen dari gaji
sebulan. Sayangnya, PT Jamsostek gagal melindungi semua pekerja. Setelah 16
tahun bekerja, hanya sekitar 9 juta (kurang dari 30 persen) dari 32 juta pekerja
di sektor formal yang terlindungi. Itu sebabnya perlu perubahan. Di Malaysia,
semua pekerja dijamin dengan iuran satu program, yaitu Jaminan Hari Tua, 23
persen gaji sebulan. Padahal, besaran gaji di Malaysia lebih tinggi. Mengapa
pengusaha di Malaysia lebih kompetitif? Mengapa Blackberry memilih buka pabrik
di Malaysia, bukan di Indonesia? Jelas, bukan jaminan sosial yang membebani. Di
Indonesia, yang menjadi hambatan utama adalah kelemahan pengusaha, birokrasi,
dan premanisme. Namun, jaminan sosial yang dikambinghitamkan. Nasib malang
pekerja Indonesia.
https://lifestyle.kompas.com/read/2011/10/20/02095178/buruh.dan.jaminan.sosial
5. Masalah Lapangan Pekerjaan.
Kelangkaan
pekerjaan bisa terjadi ketika muncul ketidakseimbangan antara jumlah calon
pekerja/buruh yang banyak, sedangkan lapangan pekerjaan relatif sedikit, atau
banyaknya lapangan kerja, tapi kualitas tenaga kerja pekerja/buruh yang ada
tidak sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Kelangkaan pekerjaan ini dapat
menimbulkan gejolak sosial, angka pengangguran yang tinggi dapat berakibat
padaa aspek sosial yang lebih luas.
Melihat
permasalahan ketenagakerjaan diatas, tentu saja membutuhkan pemecahan yang baik
dan sistematis, karena permasalahan tenaga kerja bukan lagi permasalahan
individu yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual, tetapi merupakan
persoalan sosial, yang akhirnya membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan
menyeluruh. Persoalan yang sangat erat hubungannya dengan fungsi dan
tanggung jawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya harus
diselesaikan melalui kebijakan dan pelaksanaan oleh negara bukan diselesaikan
oleh pekerja/buruh dan pengusaha. Sedangkan masalah hubungan kerja dapat
diselesaikan oleh pekerja/buruh dan pengusaha. Menghadapi permasalahan yang ada
maka pemerintah tidak cukup dengan hanya merevisi perundang-undangan, melainkan
mesti mengacu kepada akar permasalahan ketenagakerjaan itu sendiri. Ynag terpenting
adalah pemerintah tidak boleh melepaskan fungsinya untuk melindungi dan
memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya dalah hal ini kesejahteraan bagi
pekerja/buruh.
Studi kasus
1. Outsourcing merana
Pekerja alih daya atau
outsourcing di Indonesia diyakini sangat jauh dari sejahtera. Gaji mereka saja
rata rata berbeda 30 persen dibandingkan karyawan kontrak di perusahaan yang
sama.
Kepala Kajian Pekerjaan Layak LIPI Nawawi Asmat
mengatakan, itu terjadi lantaran pengawasan pemerintah yang sangat lemah.
Kondisi ini berbeda dengan Jepang, di mana karyawan outsourcing di sana sangat
sejahtera.
"Indonesia semakin
kompleks masalah outsourcing. Jepang ideal sekali dan sangat dilindungi UU nya.
Pemerintah Jepang konsen dengan itu. Upah mereka tidak berbeda jauh berstatus
kontrak atau tetap," ucap Nawawi di Gedung LIPI, Jakarta, Kamis (16/1).
2. Digaji kecil
Masyarakat miskin di
Indonesia tidak hanya dari kalangan pengangguran atau pendidikan rendah. Hasil
kajian LIPI menyebutkan, sekitar 43,67 persen pekerja Indonesia saat ini masih
berada di bawah garis kemiskinan. Ini terjadi lantaran
kecilnya upah dan tingginya harga barang.
Kepala Kajian Pekerjaan Layak LIPI Nawawi Asmat
mengatakan dalam penelitiannya pada Februari 2012 silam, 57 persen pekerja
informal dan 26,2 persen pekerja formal masih berada di bawah garis kemiskinan.
"Sehingga total pekerja
kita hidup di bawah garis kemiskinan 43,67 persen," ucap Nawawi di Gedung
LIPI, Jakarta, Kamis (16/1).
Pekerja yang disurvei berasal dari pelbagai
bidang. Semisal pertanian, pertambangan, industri, bangunan, perdagangan,
angkutan, keuangan, jasa dan lainnya. Rata rata gaji pekerja formal hanya Rp
1.227.109. Sedangkan untuk informal hanya Rp 779.812.
3. Lapangan kerja tak sesuai pendidikan
Persoalan pengangguran di
Indonesia dipicu tiadanya kesesuaian antara jenjang pendidikan dan ketersediaan
lapangan kerja. Kondisi ini memicu tenaga kerja terdidik, justru mengambil
lahan pekerjaan kelompok tidak terampil.
Data itu disampaikan oleh
Ekonom Senior Bank Dunia Vivi Alatas, dalam diskusi bertajuk 'Masalah
Ketenagakerjaan: Perbaikan Untuk Semua Pihak' yang digelar di Center of
Strategic and International Studies, Jakarta, Kamis (16/1).
Berdasarkan data yang dilansir Badan Pusat
Statistik (BPS), lulusan pendidikan tinggi baru 5 persen dari total angkatan
kerja. Alhasil, mayoritas pasar buruh diisi oleh alumnus pendidikan dasar dan
menengah. Masalahnya, kata Vivi, para warga usia muda kesulitan mengakses
informasi soal lapangan pekerjaan.
Akhirnya, banyak lulusan SMA bersedia melakoni
pekerjaan yang seharusnya diperuntukkan untuk lulusan SD dan SMP. "Sekitar
20 persen lulusan SMA rela bekerja di sektor tanpa keterampilan, 65 persen
semi-skilled," kata Vivi.
Fenomena ini imbas dari kegagalan lulusan
pendidikan tinggi, khususnya para sarjana, yang juga menganggur dan akhirnya
mengambil jatah lulusan SMA. Jumlah lulusan perguruan tinggi yang menganggur
saat ini lima kali lipat pengangguran dewasa. Menurut Vivi, situasi ini sudah
tidak sehat, apabila dibandingkan dengan mayoritas negara lain berpenghasilan
menengah seperti Indonesia.
4. Akses informasi lapangan kerja sulit
Bank Dunia menyoroti
fenomena lapangan kerja di Indonesia yang tidak sesuai antara kebutuhan pencari
kerja dengan pengusaha sebagai pemberi kerja. Fenomena ini disinyalir muncul
akibat ketimpangan informasi, terutama di kalangan anak muda yang baru lulus
sekolah.
Ekonom Senior Bank Dunia Vivi Alatas
mengatakan, 60 persen angkatan kerja muda terlalu mengandalkan model getok
tular alias informasi dari hasil obrolan dengan teman atau keluarga.
"Ini menandakan adanya
kesulitan angkatan kerja untuk mengakses informasi soal pasar kerja,"
ujarnya di sela-sela diskusi ketenagakerjaan yang digelar Center for Strategic
and International Studies, Jakarta, Kamis (16/1).
Kondisi ini, idealnya harus dijembatani oleh
pemerintah maupun pemberi kerja. Sebab, ketidaktahuan cara mencari kerja bukan
cuma dialami lulusan SD atau SMP, melainkan juga SMA hingga sarjana.
5. Ketrampilan tenaga kerja rendah
Pemerintah wajib memediasi
institusi pendidikan dan pengusaha. Dalam hal ini, wajib ada pelatihan di luar
bursa kerja untuk menambah keterampilan generasi muda yang baru lulus sekolah.
"Indonesia harus mendorong diadakannya
pelatihan keterampilan dari pemberi kerja. Untuk kebijakan seperti ini, kita
kalah dari Filipina atau China," Ekonom Senior Bank Dunia Vivi Alatas.Hal
ini masih ditambah adanya kekurangan mendasar dari mayoritas tenaga kerja di
Indonesia. Kebanyakan mereka hebat dan tekun dalam hal teknis pekerjaan, tapi
menurut Vivi lemah dalam keterampilan lunak (soft skill).
"Dari data, kebanyakan tenaga kerja
terampil kita kurang di kecerdasan sikap, kemampuan Bahasa Inggris, serta
pengoperasian komputer," ungkapnya.
URAIAN DEFINISI
·
Buruh,
pekerja, tenaga kerja,
karyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya
untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk
lainnya kepada pemberi kerja atau majikan atau pengusaha
·
Kaeyawan
Karyawan adalah
setiap orang yang bekerja dengan menjual tenaganya (fisik dan pikiran) kepada
suatu perusahaan dan memperoleh balas jasa yang sesuai dengan perjanjian
(Hasibuan, 2009)
·
Gerakan buruh,.
Gerakan
buruh, labourisme atau laboriousme, adalah istilah
umum untuk organisasi kolektif kaum pekerja yang berkembang
untuk mewakili dan mengkampanyekan kondisi dan perlakuan pekerjaan yang baik
dari karyawan mereka, dan pemerintah mereka melalui implementasi hukum buruh dan
pekerjaan.
Serikat
Pekerja
1. Pengertian Serikat
Pekerja / Serikat Buruh menurut Undang – Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang
Serikat Pekerja / Serikat Buruh Pasal 1 Angka 1
Serikat Pekerja/Serikat
Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik
di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,
demokratis, dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya.
2. Pengertian Serikat Pekerja
Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Angka 17 :
Serikat Pekerja/Serikat
Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik
di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,
demokratis, dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya.
3. Pengertian Serikat
Pekerja / Serikat Buruh Menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 1 Angka 8.
Serikat Pekerja/Serikat
Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh
baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya.
Dasar Hukum Serikat
Pekerja / Serikat Buruh di Indonesia :
1. Undang-undang Dasar Negara RI Th. 1945
2. Piagam PBB tentang Hak2 azazi manusia Pasal 20 (ayat 1) dan
pasal 23 (ayat 4)
3. UU No. 18 th. 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 98
mengenai Hak berorganisasi dan Berunding bersama
4. KePres No. 23 th. 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO NO. 87
tentang kebabasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi
5. KeMenaker No. PER-201/MEN/1999 tentang Pendaftaran Serikat
Pekerja
6. KepMenaker No. PER-16/MEN/2000 tentang tata cara Pendaftaran
Serikat Pekerja
7. UU No. 21 th. 2000 tentang Serikat Pekerja (SP)
8. UU No. 13 th. 2003 tentang Ketenagakerjaan
9. UU No. 2 th. 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (PPHI)
10. Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Serikat Pekerja
yg bersangkutan