Minggu, 28 Oktober 2018

Hukum dan pranata pembangunan



PENDAHULUAN
Pengertian Hukum Pranata Pembangunan(HPP)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Hukum adalah (1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah ; (2) undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat ; (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb) yang tertentu; (4) keputusan (pertimbangan yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan) ; vonis.
Pranata adalah system tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia.
Pembangunan adalah perubahan individu/kelompok dalam kerangka mewujudkan penigkatan kesejahteraan hidup.
Jadi dapat diartikan bahwa hukum pranata pembangunan adalah suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur suatu system tingkah laku sosial yang bersifat resmi yang dimiliki oleh kelompok ataupun individu dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan hidup bersama.
Pranata dibidang arsitektur dapat dikaji melalui pendekatan system, karena fenomena yang ada melibatkan banyak pihak dengan fungsi yang berbeda sehingga menciptakan anomali yang berbeda juga sesuai dengan kasus masing-masing.
Didalam proses membentuk ruang dari akibat kebutuhan hidup manusia, maka ada cara teknik dan tahapan metoda untuk berproduksi dalam penciptaan ruang. Misalnya secara hirarki dapat disebutkan ‘ruang tidur’ yaitu sebagai ruang untuk istirahat, sampai dengan ‘ruang kota’ sebagai ruang untuk melakukan aktifitas sosial, ekonomi, dan budaya. Secara fungsi ruang memiliki peran yang berbeda menurut tingkat kebutuhan hidup manusia itu sendiri, seperti ruang makan, ruang kerja, ruang baca, dan seterusnya. Secara structural ruang memiliki pola susunan yang beragam, ada yang liniear, radial, mengelompok, dan menyebar. Estetika adalah pertimbangan penciptaan ruang yang mewujudkan rasa nyaman, rasa aman, dan keindahan.
Kegiatan pembangunan memiliki empat unsur pokok, adalah manusia, kekayaan alam, modal, dan teknologi. Pembangunan sebagai suatu sistem yang kompleks mengalami proses perubahan dari yang sederhana sampai dengan yang rumit/kompleks. Proses perubahan tersebut mengalami perkembangan perubahan cara pandang, beberapa cara pandang tersebut adalah pertumbuhan (GROWTH), perubahan strukutr (STRUCTURAL CHANGE), ketergantungan (DEPENDENCY), pendekatan sistem (SYSTEM APPROACH), dan penguasaan teknologi (TECHNOLOGY).
Arsitektur adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang keterkaitan antara manusia dengan lingkungan binaan-nya, dan ruang adalah wujud manifestasi dari manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ada tiga aspek penting dalam arsitektur, yaitu : firmitas (kekuatan atau konstruksi), utilitas (kegunaan atau fungsi), dan venustas (keindahan atau estetika).
Didalam proses membentuk ruang dari akibat kebutuhan hidup manusia, maka ada cara (teknik) dan tahapan (metoda) untuk berproduksi dalam penciptaan ruang. Secara hirarki dapat disebutkan ‘ruang tidur’ ruang untuk istirahat sampai dengan ‘ruang kota’ ruang untuk melakukan aktifitas sosial, ekonomi, dan budaya. Secara fungsi ruang memiliki peran yang berbeda menurut tingkat kebutuhan hidup manusia itu sendiri, seperti ruang makan, ruang kerja, ruang baca, dan seterusnya. Secara structural ruang memiliki pola susunan yang beragam, ada yang liniear, radial, mengelompok, dan menyebar. Estetika adalah pertimbangan penciptaan ruang yang mewujudkan rasa nyaman, rasa aman, dan keindahan.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, permasalahan dalam pembangunan menjadi semakin kompleks. Artinya ruang yang dibangun oleh manusia juga mengalami banyak masalah. Salah satu masalah adalah persoalan mekanisme/ikatan/pranata yang menjembatani antara fungsi satu dengan fungsi lainnya. Masalah ke-pranata-an ini menjadi penting karena beberapa hal akan menyebabkan turunnya kualitas fisik, turunnya kualitas estetika, dan turunnya kuantitas ruang dan materinya, atau bahkan dalam satu bangunan akan terjadi penurunan kuantitas dan kualitas bangunan tetapi biaya tetap atau menjadi berlebihan.
Pranata dalam pengertian umum adalah interaksi antar individu/kelompok dalam kerangka peningkatan kesejahteraan atau kualitas hidup, dalam arti khusus bahwa terjadi interaksi antar aktor pelaku pembangunan untuk menghasilkan fisik ruang yang berkualitas. Pranata di bidang arsitektur dapat dikaji melalui pendekatan sistem, karena fenomena yang ada melibatkan banyak pihak dengan fungsi berbeda dan menciptakan anomaly yang berbeda sesuai kasus masing-masing.
Dalam penciptaan ruang (bangunan) dalam dunia profesi arsitek ada beberapa aktor yang terlibat dan berinteraksi, adalah pemilik (owner), konsultan (arsitek), kontraktor (pelaksana), dan unsur pendukung lainnya.
Keterkaitan antar aktor dalam proses kegiatan pelaksanaan pembangunan mengalami pasang surut persoalan, baik yang disebabkan oleh internal didalamnya dan atau eksternal dari luar dari ketiga fungsi tersebut. Gejala pasang surut dan aspek penyebabnya tersebut mengakibatkan rentannya hubungan sehingga mudah terjadi perselisihan, yang akibatnya merugikan dan/atau menurunkan kualitas hasil.

Hukum bangunan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang menyangkut pembangunan suatu bangunan atau Ilmu yang mempelajari pelaksanaan bangunan ruang lingkupnya seluruh kegiatan pembangunan yang di lakukan pemerintah khusus bangunan itu.



Aspek Hukum Bangunan
Pada dasarnya bangunan gedung memegang peranan yang sangat penting sebagai tempat dimana manusia melakukan kegiatannya sehari-hari. Pengaturan bangunan gedung secara khusus dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU Bangunan Gedung”). Pengetahuan mengenai UU Bangunan Gedung ini menjadi penting mengingat hal-hal yang diatur dalam UU Bangunan Gedung tidak hanya diperuntukan bagi pemilik bangunan gedung melainkan juga bagi pengguna gedung serta masyarakat. Diatur dalam UU Bangunan Gedung, pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.

ISI
Undang-undang no. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
 Pasal 7, ayat (1): “Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.”
·         Pasal 7, ayat (2): “Persyaratan administratif bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan.”
Pasal 8, ayat (1): “Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
·         status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
·         status kepemilikan bangunan gedung; dan
·         izin mendirikan bangunan gedung; sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pasal 8, ayat (4): “Ketentuan mengenai izin mendirikan bangunan gedung, kepemilikan, dan pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
 Pasal 7, ayat (1): “Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
·         Pasal 7, ayat (2): “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah.”
·         Pasal 7, ayat (3): “Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

BAB VI. PELAKSANAAN PENATAAN RUANG.
·         Pasal 35: “Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.”
·         Pasal 37, ayat (1): “Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
·         Pasal 37, ayat (2): “Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
·         Pasal 37, ayat (3): “Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.”
·         Pasal 37, ayat (4): “Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.”
·         Pasal 37, ayat (5): “Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin.”
·         Pasal 37, ayat (6): “Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak.”
·         Pasal 37, ayat (7): “Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.”
·         Pasal 37, ayat (8): “Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan peraturan pemerintah.”
BAB VIII. HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT .
·         Pasal 60: “Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
1.       mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
2.       mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.”

·         Pasal 61: “Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
1.       memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang;”
·         Pasal 63: “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dapat berupa:
1.       pencabutan izin;
2.       pembatalan izin;
3.       pembongkaran bangunan;”


PP no. 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang no. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
KETENTUAN UMUM.
Pasal 1: “Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
·         Izin mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.
·         Permohonan izin mendirikan bangunan gedung adalah permohonan yang dilakukan pemilik bangunan gedung kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan gedung.”
BAB II. FUNGSI BANGUNAN GEDUNG.
Bagian Kedua: Penetapan Fungsi Bangunan Gedung.
·         Pasal 6, ayat (1): “Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL.”
·         Pasal 6, ayat (2): “Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung diusulkan oleh pemilik bangunan gedung dalam pengajuan permohonan izin mendirikan bangunan gedung.”
·         Pasal 6, ayat (3): “Pemerintah daerah menetapkan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, dalam izin mendirikan bangunan gedung berdasarkan RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL.”
Bagian Ketiga: Perubahan Fungsi Bangunan Gedung.
·         Pasal 7, ayat (1): “Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung dapat diubah melalui permohonan baru izin mendirikan bangunan gedung.”
·         Pasal 7, ayat (4): “Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung ditetapkan oleh pemerintah daerah dalam izin mendirikan bangunan gedung, kecuali bangunan gedung fungsi khusus ditetapkan oleh Pemerintah.”
PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG.
Pasal 8, ayat (2): “Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi:
·         status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
·         status kepemilikan bangunan gedung; dan
·         izin mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 13, ayat (1): “Kegiatan pendataan untuk bangunan gedung-baru dilakukan bersamaan dengan proses izin mendirikan bangunan gedung untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung.”

Izin Mendirikan Bangunan Gedung.
Pasal 14, ayat (1): “Setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib memiliki izin mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 14, ayat (2): “Izin mendirikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, melalui proses permohonan izin mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 14, ayat (3): “Pemerintah daerah wajib memberikan surat keterangan rencana kabupaten/kota untuk lokasi yang bersangkutan kepada setiap orang yang akan mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 14, ayat (4): “Surat keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan ketentuan yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan dan berisi:
·         fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi bersangkutan;
·         ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;
·         jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan tanah dan KTB yang diizinkan;
·         garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang diizinkan;
·         KDB maksimum yang diizinkan;
·         KLB maksimum yang diizinkan;
·         KDH minimum yang diwajibkan;
·         KTB maksimum yang diizinkan; dan
·         jaringan utilitas kota.”
Pasal 14, ayat (5): “Dalam surat keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat juga dicantumkan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan.”
Pasal 14, ayat (6): “Keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan gedung.”
Pasal 15, ayat (1): “Setiap orang dalam mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib melengkapi dengan:
Pasal 15, ayat (2): “Untuk proses pemberian perizinan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, harus mendapat pertimbangan teknis dari tim ahli bangunan gedung dan dengan mempertimbangkan pendapat publik.”
Pasal 15, ayat (3): :Permohonan izin mendirikan bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis disetujui dan disahkan oleh bupati/walikota, kecuali untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh Gubernur, untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah dalam bentuk izin mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 15, ayat (4): “Izin mendirikan bangunan gedung merupakan prasyarat untuk mendapatkan pelayanan utilitas umum kabupaten/kota.”


Pembangunan Bangunan Gedung di atas dan/atau di bawah tanah, air dan/atau prasarana/sarana umum.
Pasal 29: “Bangunan gedung yang dibangun di atas dan/atau di bawah tanah, air, atau prasarana dan sarana umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) pengajuan permohonan izin mendirikan bangunan gedungnya dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari pihak yang berwenang.”
Pasal 30, ayat (4): “Izin mendirikan bangunan gedung untuk pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) selain memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14 dan Pasal 15, wajib mendapat pertimbangan teknis tim ahli bangunan gedung dan dengan mempertimbangkan pendapat publik.”
PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG.
Bagian Pertama: Pembangunan.
Perencanaan Teknis.
Pasal 63, ayat (5): “Dokumen rencana teknis bangunan gedung berupa rencana-rencana teknis arsitektur, struktur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal, pertamanan, tata ruang-dalam, dalam bentuk gambar rencana, gambar detail pelaksanaan, rencana kerja dan syarat-syarat administratif, syarat umum dan syarat teknis, rencana anggaran biaya pembangunan, dan/atau laporan perencanaan.”
Pasal 64, ayat (1): “Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) diperiksa, dinilai, disetujui, dan disahkan untuk memperoleh izin mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 64, ayat (3): “Penilaian dokumen rencana teknis dilaksanakan dengan melakukan evaluasi terhadap pemenuhan persyaratan teknis dengan mempertimbangkan aspek lokasi, fungsi, dan klasifikasi bangunan gedung.”
Pasal 64, ayat (7): “Persetujuan dokumen rencana teknis diberikan terhadap rencana yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk persetujuan tertulis oleh pejabat yang berwenang.”
Pasal 65, ayat (1): “Dokumen rencana teknis yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (7) dikenakan biaya izin mendirikan bangunan gedung yang nilainya ditetapkan berdasarkan klasifikasi bangunan gedung.”
Pasal 65, ayat (2): “Dokumen rencana teknis yang biaya izin mendirikan bangunan gedungnya telah dibayar, diterbitkan izin mendirikan bangunan gedung oleh bupati/walikota, kecuali untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilakukan oleh Gubernur, dan untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.”

Pelaksanaan Konstruksi.
Pasal 68, ayat (1): “Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dimulai setelah pemilik bangunan gedung memperoleh izin mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 72, ayat (1): “Pemanfaatan bangunan gedung merupakan kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam izin mendirikan bangunan gedung termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala.”
Pasal 81, ayat (1): “Perpanjangan sertifikat laik fungsi bangunan gedung pada masa pemanfaatan diterbitkan oleh pemerintah daerah dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun untuk rumah tinggal tunggal dan rumah tinggal deret, dan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun untuk bangunan gedung lainnya, berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung terhadap pemenuhan persyaratan teknis dan fungsi bangunan gedung sesuai dengan izin mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 91, ayat (2): “Bangunan gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
·         bangunan gedung yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki lagi;
·         bangunan gedung yang pemanfaatannya menimbulkan bahaya bagi pengguna, masyarakat, dan lingkungannya; dan/atau
·         bangunan gedung yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 91, ayat (6): “Untuk bangunan gedung yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pemerintah daerah menetapkan bangunan gedung tersebut untuk dibongkar dengan surat penetapan pembongkaran.”

SUMBER :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar