PENDAHULUAN
Pengertian Hukum Pranata
Pembangunan(HPP)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Hukum adalah
(1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan
oleh penguasa atau pemerintah ; (2) undang-undang, peraturan, dsb untuk
mengatur pergaulan hidup masyarakat ; (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai
peristiwa (alam dsb) yang tertentu; (4) keputusan (pertimbangan yang ditetapkan
oleh hakim (di pengadilan) ; vonis.
Pranata adalah
system tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma
yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi
berbagai kompleks kebutuhan manusia.
Pembangunan adalah perubahan individu/kelompok dalam kerangka mewujudkan
penigkatan kesejahteraan hidup.
Jadi dapat
diartikan bahwa hukum pranata pembangunan adalah suatu peraturan
perundang-undangan yang mengatur suatu system tingkah laku sosial yang bersifat
resmi yang dimiliki oleh kelompok ataupun individu dalam kerangka mewujudkan
kesejahteraan hidup bersama.
Pranata dibidang arsitektur dapat dikaji melalui pendekatan system, karena fenomena yang ada melibatkan banyak pihak dengan fungsi yang berbeda sehingga menciptakan anomali yang berbeda juga sesuai dengan kasus masing-masing.
Didalam proses membentuk ruang dari akibat kebutuhan hidup manusia, maka ada cara teknik dan tahapan metoda untuk berproduksi dalam penciptaan ruang. Misalnya secara hirarki dapat disebutkan ‘ruang tidur’ yaitu sebagai ruang untuk istirahat, sampai dengan ‘ruang kota’ sebagai ruang untuk melakukan aktifitas sosial, ekonomi, dan budaya. Secara fungsi ruang memiliki peran yang berbeda menurut tingkat kebutuhan hidup manusia itu sendiri, seperti ruang makan, ruang kerja, ruang baca, dan seterusnya. Secara structural ruang memiliki pola susunan yang beragam, ada yang liniear, radial, mengelompok, dan menyebar. Estetika adalah pertimbangan penciptaan ruang yang mewujudkan rasa nyaman, rasa aman, dan keindahan.
Pranata dibidang arsitektur dapat dikaji melalui pendekatan system, karena fenomena yang ada melibatkan banyak pihak dengan fungsi yang berbeda sehingga menciptakan anomali yang berbeda juga sesuai dengan kasus masing-masing.
Didalam proses membentuk ruang dari akibat kebutuhan hidup manusia, maka ada cara teknik dan tahapan metoda untuk berproduksi dalam penciptaan ruang. Misalnya secara hirarki dapat disebutkan ‘ruang tidur’ yaitu sebagai ruang untuk istirahat, sampai dengan ‘ruang kota’ sebagai ruang untuk melakukan aktifitas sosial, ekonomi, dan budaya. Secara fungsi ruang memiliki peran yang berbeda menurut tingkat kebutuhan hidup manusia itu sendiri, seperti ruang makan, ruang kerja, ruang baca, dan seterusnya. Secara structural ruang memiliki pola susunan yang beragam, ada yang liniear, radial, mengelompok, dan menyebar. Estetika adalah pertimbangan penciptaan ruang yang mewujudkan rasa nyaman, rasa aman, dan keindahan.
Kegiatan
pembangunan memiliki empat unsur pokok, adalah manusia, kekayaan alam, modal,
dan teknologi. Pembangunan sebagai suatu sistem yang kompleks mengalami proses
perubahan dari yang sederhana sampai dengan yang rumit/kompleks. Proses
perubahan tersebut mengalami perkembangan perubahan cara pandang, beberapa cara
pandang tersebut adalah pertumbuhan (GROWTH), perubahan strukutr (STRUCTURAL
CHANGE), ketergantungan (DEPENDENCY), pendekatan sistem (SYSTEM APPROACH), dan
penguasaan teknologi (TECHNOLOGY).
Arsitektur adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang keterkaitan antara manusia dengan lingkungan binaan-nya, dan ruang adalah wujud manifestasi dari manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ada tiga aspek penting dalam arsitektur, yaitu : firmitas (kekuatan atau konstruksi), utilitas (kegunaan atau fungsi), dan venustas (keindahan atau estetika).
Arsitektur adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang keterkaitan antara manusia dengan lingkungan binaan-nya, dan ruang adalah wujud manifestasi dari manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ada tiga aspek penting dalam arsitektur, yaitu : firmitas (kekuatan atau konstruksi), utilitas (kegunaan atau fungsi), dan venustas (keindahan atau estetika).
Didalam
proses membentuk ruang dari akibat kebutuhan hidup manusia, maka ada cara
(teknik) dan tahapan (metoda) untuk berproduksi dalam penciptaan ruang. Secara
hirarki dapat disebutkan ‘ruang tidur’ ruang untuk istirahat sampai dengan
‘ruang kota’ ruang untuk melakukan aktifitas sosial, ekonomi, dan budaya.
Secara fungsi ruang memiliki peran yang berbeda menurut tingkat kebutuhan hidup
manusia itu sendiri, seperti ruang makan, ruang kerja, ruang baca, dan
seterusnya. Secara structural ruang memiliki pola susunan yang beragam, ada
yang liniear, radial, mengelompok, dan menyebar. Estetika adalah pertimbangan
penciptaan ruang yang mewujudkan rasa nyaman, rasa aman, dan keindahan.
Sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, permasalahan dalam
pembangunan menjadi semakin kompleks. Artinya ruang yang dibangun oleh manusia
juga mengalami banyak masalah. Salah satu masalah adalah persoalan
mekanisme/ikatan/pranata yang menjembatani antara fungsi satu dengan fungsi
lainnya. Masalah ke-pranata-an ini menjadi penting karena beberapa hal akan
menyebabkan turunnya kualitas fisik, turunnya kualitas estetika, dan turunnya
kuantitas ruang dan materinya, atau bahkan dalam satu bangunan akan terjadi
penurunan kuantitas dan kualitas bangunan tetapi biaya tetap atau menjadi
berlebihan.
Pranata dalam pengertian umum adalah interaksi antar individu/kelompok dalam kerangka peningkatan
kesejahteraan atau kualitas hidup, dalam arti khusus bahwa terjadi interaksi
antar aktor pelaku pembangunan untuk menghasilkan fisik ruang yang berkualitas.
Pranata di bidang arsitektur dapat dikaji melalui pendekatan sistem, karena
fenomena yang ada melibatkan banyak pihak dengan fungsi berbeda dan menciptakan
anomaly yang berbeda sesuai kasus masing-masing.
Dalam
penciptaan ruang (bangunan) dalam dunia profesi arsitek ada beberapa aktor yang
terlibat dan berinteraksi, adalah pemilik (owner), konsultan (arsitek),
kontraktor (pelaksana), dan unsur pendukung lainnya.
Keterkaitan
antar aktor dalam proses kegiatan pelaksanaan pembangunan mengalami pasang
surut persoalan, baik yang disebabkan oleh internal didalamnya dan atau
eksternal dari luar dari ketiga fungsi tersebut. Gejala pasang surut dan aspek
penyebabnya tersebut mengakibatkan rentannya hubungan sehingga mudah terjadi
perselisihan, yang akibatnya merugikan dan/atau menurunkan kualitas hasil.
Hukum bangunan adalah keseluruhan
peraturan-peraturan yang menyangkut pembangunan suatu bangunan atau Ilmu yang
mempelajari pelaksanaan bangunan ruang lingkupnya seluruh kegiatan pembangunan
yang di lakukan pemerintah khusus bangunan itu.
Aspek Hukum Bangunan
Pada dasarnya bangunan gedung memegang peranan yang
sangat penting sebagai tempat dimana manusia melakukan kegiatannya sehari-hari.
Pengaturan bangunan gedung secara khusus dituangkan dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU Bangunan Gedung”). Pengetahuan
mengenai UU Bangunan Gedung ini menjadi penting mengingat hal-hal yang diatur
dalam UU Bangunan Gedung tidak hanya diperuntukan bagi pemilik bangunan gedung
melainkan juga bagi pengguna gedung serta masyarakat. Diatur dalam UU Bangunan
Gedung, pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau
perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.
ISI
Undang-undang no. 28 tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung
Pasal 7,
ayat (1): “Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.”
·
Pasal 7,
ayat (2): “Persyaratan administratif bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan
bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan.”
Pasal 8, ayat (1):
“Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
·
status hak
atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
·
status
kepemilikan bangunan gedung; dan
·
izin
mendirikan bangunan gedung; sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
Pasal 8, ayat (4):
“Ketentuan mengenai izin mendirikan bangunan gedung, kepemilikan, dan pendataan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang
Pasal 7, ayat (1): “Negara menyelenggarakan
penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
·
Pasal 7,
ayat (2): “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara
memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan
pemerintah daerah.”
·
Pasal 7,
ayat (3): “Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
BAB VI. PELAKSANAAN
PENATAAN RUANG.
·
Pasal 35:
“Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi,
perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.”
·
Pasal 37,
ayat (1): “Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
·
Pasal 37,
ayat (2): “Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan
masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
·
Pasal 37,
ayat (3): “Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan
tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.”
·
Pasal 37,
ayat (4): “Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar
tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah,
dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.”
·
Pasal 37,
ayat (5): “Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dimintakan penggantian yang layak
kepada instansi pemberi izin.”
·
Pasal 37,
ayat (6): “Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya
perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak.”
·
Pasal 37,
ayat (7): “Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin
pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.”
·
Pasal 37,
ayat (8): “Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata
cara penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
diatur dengan peraturan pemerintah.”
BAB VIII. HAK,
KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT .
·
Pasal 60:
“Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
1.
mengajukan
tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
2.
mengajukan
gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila
kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan
kerugian.”
·
Pasal 61:
“Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
1.
memanfaatkan
ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan
ruang;”
·
Pasal 63:
“Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dapat berupa:
1.
pencabutan
izin;
2.
pembatalan
izin;
3.
pembongkaran
bangunan;”
PP no. 36 tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-undang no. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
KETENTUAN UMUM.
Pasal 1: “Dalam
Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
·
Izin
mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah,
memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan
persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.
·
Permohonan
izin mendirikan bangunan gedung adalah permohonan yang dilakukan pemilik
bangunan gedung kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan izin mendirikan
bangunan gedung.”
BAB II. FUNGSI
BANGUNAN GEDUNG.
Bagian Kedua:
Penetapan Fungsi Bangunan Gedung.
·
Pasal 6,
ayat (1): “Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung harus sesuai dengan
peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau
RTBL.”
·
Pasal 6,
ayat (2): “Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung diusulkan oleh pemilik
bangunan gedung dalam pengajuan permohonan izin mendirikan bangunan gedung.”
·
Pasal 6,
ayat (3): “Pemerintah daerah menetapkan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh
Pemerintah, dalam izin mendirikan bangunan gedung berdasarkan RTRW
kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL.”
Bagian Ketiga:
Perubahan Fungsi Bangunan Gedung.
·
Pasal 7,
ayat (1): “Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung dapat diubah melalui
permohonan baru izin mendirikan bangunan gedung.”
·
Pasal 7,
ayat (4): “Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung ditetapkan oleh
pemerintah daerah dalam izin mendirikan bangunan gedung, kecuali bangunan
gedung fungsi khusus ditetapkan oleh Pemerintah.”
PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG.
Pasal 8, ayat (2):
“Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi:
·
status hak
atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
·
status
kepemilikan bangunan gedung; dan
·
izin
mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 13, ayat (1):
“Kegiatan pendataan untuk bangunan gedung-baru dilakukan bersamaan dengan
proses izin mendirikan bangunan gedung untuk keperluan tertib pembangunan dan
pemanfaatan bangunan gedung.”
Izin Mendirikan Bangunan Gedung.
Pasal 14, ayat (1):
“Setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib memiliki izin
mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 14, ayat (2):
“Izin mendirikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
oleh pemerintah daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah,
melalui proses permohonan izin mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 14, ayat (3):
“Pemerintah daerah wajib memberikan surat keterangan rencana kabupaten/kota
untuk lokasi yang bersangkutan kepada setiap orang yang akan mengajukan
permohonan izin mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 14, ayat (4):
“Surat keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan ketentuan yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan dan berisi:
·
fungsi
bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi bersangkutan;
·
ketinggian
maksimum bangunan gedung yang diizinkan;
·
jumlah
lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan tanah dan KTB yang diizinkan;
·
garis
sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang diizinkan;
·
KDB
maksimum yang diizinkan;
·
KLB
maksimum yang diizinkan;
·
KDH
minimum yang diwajibkan;
·
KTB
maksimum yang diizinkan; dan
·
jaringan
utilitas kota.”
Pasal 14, ayat (5):
“Dalam surat keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dapat juga dicantumkan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku untuk lokasi
yang bersangkutan.”
Pasal 14, ayat (6):
“Keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat
(5), digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan gedung.”
Pasal 15, ayat (1):
“Setiap orang dalam mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib melengkapi dengan:
Pasal 15, ayat (2):
“Untuk proses pemberian perizinan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, harus
mendapat pertimbangan teknis dari tim ahli bangunan gedung dan dengan
mempertimbangkan pendapat publik.”
Pasal 15, ayat (3):
:Permohonan izin mendirikan bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis disetujui dan disahkan oleh
bupati/walikota, kecuali untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh Gubernur,
untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah dalam bentuk izin
mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 15, ayat (4):
“Izin mendirikan bangunan gedung merupakan prasyarat untuk mendapatkan
pelayanan utilitas umum kabupaten/kota.”
Pembangunan Bangunan Gedung di atas dan/atau di
bawah tanah, air dan/atau prasarana/sarana umum.
Pasal 29: “Bangunan
gedung yang dibangun di atas dan/atau di bawah tanah, air, atau prasarana dan
sarana umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) pengajuan permohonan
izin mendirikan bangunan gedungnya dilakukan setelah mendapatkan persetujuan
dari pihak yang berwenang.”
Pasal 30, ayat (4):
“Izin mendirikan bangunan gedung untuk pembangunan bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) selain memperhatikan ketentuan
dalam Pasal 14 dan Pasal 15, wajib mendapat pertimbangan teknis tim ahli
bangunan gedung dan dengan mempertimbangkan pendapat publik.”
PENYELENGGARAAN
BANGUNAN GEDUNG.
Bagian Pertama: Pembangunan.
Perencanaan Teknis.
Pasal 63, ayat (5):
“Dokumen rencana teknis bangunan gedung berupa rencana-rencana teknis
arsitektur, struktur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal, pertamanan, tata
ruang-dalam, dalam bentuk gambar rencana, gambar detail pelaksanaan, rencana
kerja dan syarat-syarat administratif, syarat umum dan syarat teknis, rencana
anggaran biaya pembangunan, dan/atau laporan perencanaan.”
Pasal 64, ayat (1):
“Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) diperiksa,
dinilai, disetujui, dan disahkan untuk memperoleh izin mendirikan bangunan
gedung.”
Pasal 64, ayat (3):
“Penilaian dokumen rencana teknis dilaksanakan dengan melakukan evaluasi
terhadap pemenuhan persyaratan teknis dengan mempertimbangkan aspek lokasi,
fungsi, dan klasifikasi bangunan gedung.”
Pasal 64, ayat (7):
“Persetujuan dokumen rencana teknis diberikan terhadap rencana yang telah
memenuhi persyaratan sesuai dengan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dalam bentuk persetujuan tertulis oleh pejabat yang berwenang.”
Pasal 65, ayat (1):
“Dokumen rencana teknis yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64 ayat (7) dikenakan biaya izin mendirikan bangunan gedung yang nilainya
ditetapkan berdasarkan klasifikasi bangunan gedung.”
Pasal 65, ayat (2):
“Dokumen rencana teknis yang biaya izin mendirikan bangunan gedungnya telah
dibayar, diterbitkan izin mendirikan bangunan gedung oleh bupati/walikota,
kecuali untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilakukan oleh Gubernur, dan untuk
bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan
pemerintah daerah.”
Pelaksanaan Konstruksi.
Pasal 68, ayat (1):
“Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dimulai setelah pemilik bangunan gedung
memperoleh izin mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 72, ayat (1):
“Pemanfaatan bangunan gedung merupakan kegiatan memanfaatkan bangunan gedung
sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam izin mendirikan bangunan gedung
termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala.”
Pasal 81, ayat (1):
“Perpanjangan sertifikat laik fungsi bangunan gedung pada masa pemanfaatan
diterbitkan oleh pemerintah daerah dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun
untuk rumah tinggal tunggal dan rumah tinggal deret, dan dalam jangka waktu 5
(lima) tahun untuk bangunan gedung lainnya, berdasarkan hasil pemeriksaan
kelaikan fungsi bangunan gedung terhadap pemenuhan persyaratan teknis dan
fungsi bangunan gedung sesuai dengan izin mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 91, ayat (2):
“Bangunan gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
·
bangunan
gedung yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki lagi;
·
bangunan
gedung yang pemanfaatannya menimbulkan bahaya bagi pengguna, masyarakat, dan
lingkungannya; dan/atau
·
bangunan
gedung yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung.”
Pasal 91, ayat (6):
“Untuk bangunan gedung yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pemerintah daerah menetapkan
bangunan gedung tersebut untuk dibongkar dengan surat penetapan pembongkaran.”
SUMBER :